TINJAUAN TERHADAP NILAI,
NORMA, MORAL, ETIKA, DAN PANDANGAN HIDUP, PERLU DIPAHAMI OLEH SETIAP WARGA
NEGARA DALAM KEHIDUPAN BERBANGSA DAN BERNEGARA
oleh
Zenal Muttaqin, S.HI*)
Sebagai makhluk individu dan sosial
tidaklah mungkin manusia dapat memenuhi segala kebutuhannya sendiri,oleh karena
itu untuk dapat memenuhi kebutuhannya ia senantiasa memerlukan batuan atau
keberadaan orang lain. Dalam pengertian inilah maka manusia sebagai pribadi
hidup sebagai bagian dari lingkungan sosial yang lebih luas secara
berturut-turut hidup dari lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat, bangsa,
dan lingkungan negara yang merupakan lembaga-lembaga masyarakat utama yang
diharapkan mampu menyalurkan dan mewujudkan pandangan hidupnya. Dengan
demikian, dalam kehidupan bersama warga negara itu membutuhkan suatu tekad
untuk mewujudkannya apa yang menjadi cita-citanya (cita-cita bersama). Untuk
mewujudkan cita-cita tersebut, perlu kesadaran warga negara untuk memenuhi
kewajibannya sebagai warga Negara yang baik, Bersama dengan warga yang lain
untuk mendukung dan melaksanakan program-program yang telah ditetapkan oleh
pemerintah.

Sumber:
https://radarkepahiang.disway.id/read/660838/legenda-burung-garuda-menjadi-simbol-keagungan
Bagi bangsa Indonesia sendiri mempunyai
banyak pengalaman dalam upaya menjadikan warga Negara yang baik dengan
serangkaian Pendidikan yang diselenggarakan dinegara kita (Indonesia), yaitu
lewat matapelajaran Pendidikan Kewarganegaraan. Hal ini terbukti sebagaimana
kita lihat dalam tujuan umum dari Pendidikan Kewarganegaraan pada dasarnya
adalah bagaimana menjadikan warga negara yang baik, mampu mendukung bangsa dan
Negara. (Winarno; 2007:V). Upaya mewarga-negarakan individu atau orang-orang
yang hidup dalam suatu Negara merupakan tugas utama dari negara. Konsep warga Negara yang baik (good
citizen) tentunya tidak lepas dari pandangan hidup suatu bangsa yang dilandasi
oleh nilai, norma, moral, dan etika dari warga Negara itu sendiri. Pada era
sekarang ini tentunya diperlukan Pendidikan Kewarganegaraan yang bertujuan
membentuk warga Negara yang cerdas, berkepribadian, bertanggung jawab bagi kelangsungan
kehidupan bangsa Negara Indonesia. Inilah kiranya sebagai ukuran/kriteria untuk
masa sekarang ini. Untuk itu, maka setiap kehidupan warga negara perlu
dilandasi pemahaman akan pengertian nilai, norma, moral, etika dan pandangan hidup
yang kokoh untuk terwujudnya seorang warga Negara yang baik dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara. Perlu diketahui bahwa warga Negara yang baik itu tidak
semata-mata warga Negara yang cerdas, berkepribadian, dan bertanggung jawab saja,
namun perlu juga dilandasai dengan pengertian nilai, norma, moral, etika, dan pandangan
hidup dari suatu warga negara itu sendiri, sehingga dalam sikap perbuatannya
tidak menyimpang dari ketentuan-ketentuan norma/aturan yang berlaku. Lebih dari
itu harus juga dilandasi oleh adanya suatu pandangan hidup yang kokoh agar
supaya tidak terombang-ambingkan oleh situasi yang tidak menyenangkan.

Sumber:
https://www.alodokter.com/kerap-dianggap-sama-kenali-perbedaan-moral-dan-etika
Pemahaman
Nilai, Norma, Moral, Etika, dan Pandangan Hidup
1.
Nilai/value
Apakah
nilai atau value itu? Nilai merupakan masalah yang penting yang dibahas oleh
filsafat tepatnya oleh cabang filsafat aksiologi. Tidaklah mengherankan apabila
aksiologi sebagai problem of human value
oleh
Lois O Kattsoft dalam (Dardji Darmodiharjdo; 1996:50), mengartikan aksiologi
sebagai ilmu yang menyelidiki hakekat nilai yang pada umumnya ditinjau dari
sudut pandang kefilsafatan. Cabang filsafat ini merupakan salah satu dari tiga
cabang pokok filsafat, dua yang lainnya, yaitu ontologi dan epistimologi. Sesuatu
dikatakan mempunyai nilai apabila ia bermanfaat dalam kaca mata manusia yang
memberikan penilaian. Jadi nilai tidak lain sebenarnya adalah kualitas dari
sesuatu. Jika dikatakan lukisan (sesuatu) itu indah, maka yang dimaksud dengan
nilai "indah” adalah kualitas dari lukisan tersebut, bukan benda
lukisannya. Jadi ukuran dari kualitas itu adalah bermanfaat atau tidak,
bermanfaat bagi kepentingan manusia, baik kepentingan itu bersifat lahiriah
atau batiniah. Selanjutnya apakah nilai itu sebenarnya? Secara etimologis,
nilai berasal dari kata value(inggris) dan yang berasal dari kata value(Latin)
yang berarti kuat, baik, berharga. Dengan demikian secara sederhana nilai
adalah sesuatu yang berharga baik menurut standard logika (baik-jelek),
estetika (bagus-buruk), etika (adil-tidak adil), agama (haram dan halal), dan
hukum (sah-absah), serta menjadi acuan dan atau system keyakinan diri maupun
kehidupan.
Menilai berarti menimbang-nimbang dan
membandingkan sesuatu dengan yang lain untuk kemudian dijadikan dasar mengambil
sikap atau keputusan. Hasil pertimbangan dan perbandingan yang dibuat itulah
yang disebut nilai. Karena ada unsur pertimbangan dan perbandingan berarti sesungguhnya
objek yang diberi penilaian tersebut tidak tunggal. Objek di sini dapat berupa
suatu yang bersifat jasmaniah atau rohaniah, misalnya benda, sikap, dan
tindakan tertentu. Di sini berarti subjek berhadapan dengan objek, dan pada
dasarnya subjeknya yang pada akhirnya memerlukan keputusan tentang nilai, misalnya;
apakah nilai itu positif atau negatif. Dalam memberikan penilaian itu subjek
dapat menggunakan segala alat/kelengkapan, analisis yang ada pada diri orang
itu (si penilai):
1) Indera
yang dimilikinya (akan menghasilkan nilai nikmat dan sebaliknya nilai kesengsaraan);
2) Rasa
etis (menghasilkan nilai baik dan buruk atau adil tidak adil)
3) Rasio
(ini menghasilkan nilai benar dan salah);
4) Rasa
estetika (akan menghasilkan nilai indah dan tidak indah);
5) Iman
(menghasilkan nilai suci-haram dan halal).
Sumber:
https://retizen.republika.co.id/posts/11495/pentingnya-etika-dan-morality-dalam-diri
Klasifikasi Nilai
Nilai dapat diklasifikasikan dalam banyak
hal atau cara. Menurut Lois O Kattsoft antara lain membedakan nilai dalam dua
macam, yaitu nilai instrinsik dan nilai instrumental. Nilai Instrinsik adalah
nilai dari sesuatu yang sejak semula sudah bernilai, sedangkan nilai Instrumental
adalah nilai dari sesuatu
karena
dapat dipakai sebagai sarana untuk mencapai tujuan sesuatu. Untuk menjelaskan
hal ini Kattsoft memberikan contoh sebelah pisau, suatu pisau dikatakan
bernilai instrinsik baik apabila pisau tersebut mengandung kualitas-kualitas
pengirisan di dalam dirinya (pisau itu). Disisi lain, ia (pisau) dikatakan
bernilai instrumental yang baik apabila pisau itu dapat digunakan oleh si
subjek untuk mengiris. Menurut Radbruch Ketika menjelaskan tentang tiga tujuan
hukum, yaitu kepastian hukum, keadilan, dan daya guna, menguraikan pada tujuan ketiga
(daya guna), yaitu bahwa hukum perlu menuju pada tujuan yang penuh
harga.
Menurut Radbruch ada tiga nilai yang penting bagi hukum, yaitu:
1) Individualwerte,
yakni nilai-nilai pribadi untuk mewujudkan kerpibadian manusia;
2) Gemeinsckaftwerte,
yakni nilai-nilai masyarakat, yaitu nilai yang hanya dapat diwujudkan dalam
masyarakat manusia;
3) Werkwerte,
yakni nilai-nilai dalam karya manusia (ilmu, kesenian) dan pada umumnya dalam
kebudayaan. (Dardji Darmodihardjo, 1996:57).
Selanjutnya
nilai juga mengandung harapan sesuatu yang diinginkan, misalnya; nilai
keadilan, nilai kesederhanaan. Orang hidup mengharapkan mendapatkan keadilan,
begitu juga kemakmuran adalah suatu keinginan setiap orang. Jadi nilai bersifat
normatif suatu keharusan (das sollen) yang menuntut diwujudkan dalam tingkah
laku. Di samping itu, nilai juga menjadi pendorong/sebagai motivator hidup
manusia. Tindakan manusia digerakkan oleh nilai. (Winarno, 2007:4). Misalnya;
kepandaian setiap manusia (siswa) berharap/ menginginkan pandai/ pintar. Karena
mengharapkan nilai itu, setiap
manusia/siswa tergerak untuk melakukan berbagai perilaku supaya menjadi pandai.
Menurut Prof. Notonegoro, nilai ada tiga macam, yaitu: 1) Nilai materiil,
adalah segala sesuatu yang berguna bagi unsur jasmani manusia. Sesuatu
dikatakan bernilai vital jika berguna bagi manusia untuk mengadakan kegiatan (beraktivitas).
Sesuatu dikatakan bernilai kerohanian apabila ia berguna bagi rohani manusia,
Nilai kerohanian ini selanjutnya dapat dibedakan menjadi:
a. Nilai
kebenaran atau kenyataan yang bersumber pada unsur akal (rasio) manusia.
b. Nilai
keindahan yang bersumber pada unsur rasa (estetis) manusia, nilai kebaikan
moral yang bersumber pada kehendak (karsa) manusia
c. Nilai
kebaikan (nilai moral) yang bersumber pada kehendak karsa, karsa hati nurani
manusia
d. Nilai
religius yang bersumber pada kepercayaan manusia dengan disertai penghayatan
melalui akal dan budi manusia.
Max
Scheler membagi nilai dalam empat tingkat, mulai dari yang menurutnya paling
rendah sampai yang
paling
tinggi. Tingkat nilai pertama, adalah nilai keselamatan. Dalam Tingkat ini
terdapat deretan nilai-nilai yang menyebabkan orang senang ataupun tidak
senang. Kedua, nilai kehidupan. Termasuk kelompok ini adalah nilai kesehatan,
kesegaran jasmani, dan kesejahteraan umum. Tingkat ketiga, adalah nilai
kejiwaan, seperti keindahan, kebenaran, dan pengetahuan murni yang dicapai
dalam filsafat. Tingkat keempat, adalah
nilai-nilai kerohanian, yang didalamnya terkandung nilai suci dan tidak suci
2.
Norma
Agar
sistem nilai yang ada pada orang (masyarakat) itu dapat diangkat ke permukaan,
sehingga tidak menghasilkan sikap dan perilaku yang diskriminasif, perlu ada
wujud nilai yang konkret.
3.
Moral
Kata
moral bersal dari latin mores yang artinya kebiasaan-kebiasaan, adat istiadat
yang kemudian berarti kaidah-kaidah tingkah laku. Seseorang (individu) yang
tingkah lakunya menaati kaidah-kaidah yang berlaku dalam masyarakat disebut
baik secara moral, dan jika sebaliknya jika tidak baik adalah amoral (immoral)
(L. Pramuda. 1995:15).
4.
Etika
Setiap
orang sudah pasti mempunyai moral, tetapi belum tentu setiap orang mengadakan
pemikiran secara kritis tentang moralnya. Pemikiran yang kritis tentang moral inilah
yang disebut etika. Istilah “Etika” berasal dari bahasa Yunani, berasal dari
kata “Ethos” yang berarti kebiasaan, perilaku, kelakuan. Etika adalah ilmu
pengetahuan filsafat tentang perilaku manusia, dapat disebut ilmu kesusilaan
atau ilmu akhlak (Listyo Sukamto, 1994:4). Hampir senada pendapat ini, menurut
Prof. Drs. Sumarjo Wreksosuhardjo dalam bukunya yang berjudul Pancasila Sebagai
Etika Politik hal 1) menyatakan Etika adalah cabang filsafat yang membicarakan
masalah perilaku/perbuatan manusia untuk dinilai dari segi baik-buruknya. Studi
filosofik atas manusia sebagai keutuhan menimbulkan cabang filsafat yang
dinamakan manusia atau philosophical anthropology. Mengenai manusia ini,
apabila ditinjau secara filosofik, aspek kognitif/rasionalitasnya menimbulkan cabang
filsafat yang dinamakan epistimologi dan logika, apabila ditinjau secara
filosofik, aspek emosionalitasnya menimbulkan cabang filsafat yang dinamakan
estetika, dan apabila ditinjau secara filosofik, aspek konasi atau kemauannya menimbulkan
cabang filsafat yang dinamakan etika. Jadi, persoalan etika itu adalah
persoalan kemauan manusia. Orang sanggup berbuat baik atau tidak, itu erat
kaitannya dengan masalah kemauan, sebaliknya, orang yang kemauannya kuat,
cenderung untuk tidak melakukan hal-hal yang tidak baik itu, memerlukan
perjuangan, maka dari tanpa adanya kemauan untuk berjuang, seorang manusia
(sebagai warga negara) tidak akan melaksanakan sesuatu yang berkaitan dengan
segi kemanusiaan. Karena etika melakukan pemikiran kritis tentang moral, maka dapat
dikatakan bahwa moral adalah bagian dari cabang filsafat yang Bernama etika
itu. Sedangkan pengkaji moral, etika selalu mendudukkan dirinya pada sudut yang
netral. Ia tidak akan berpihak pada salah satu tipe moral. Kendati demikian,
etika akan berusaha menerangkan karakteristik tiap-tiap moral yang dikajinya,
selanjutnya terserah kepada masing-masing individu atau pihak masyarakat
tertentu untuk memilihnya.

Sumber:
https://www.utakatikotak.com/Perbedaan-Makna-Pancasila-Sebagai-Dasar-Negara-dan-Pandangan-Hidup
5.
Pandangan Hidup
Hasil
pilihan atas moral yang telah dikaji etika secara kritis tersebut diharapkan
menjadi moral dari pribadi
atau
masyarakat yang memilikinya. tentu saja moral yang dipilih melalui proses
pengkajian tersebut telah berbeda kualitasnya. Dalam hal ini, satu unsur yang
membedakannya, yaitu adanya kesadaran yang penuh atas pilihan itu.
Simpulannya:
1.
Jika kita bicara nilai, norma, moral, etika dan pandangan hidup, nampak erat
sekali hubungannya seakan-akan suatu rangkaian yang sulit dipisahkan, sebab
antara satu dengan lainnya sangat melengkapi untuk dilaksanakan oleh setiap
manusia (warga negara) dalam kehidupan bermasyarakat dan berbangsa dalam suatu
negara.
2.
Apabila kita berbicara tentang nilai dalam hal ini berarti kita bicara tentang
penilaian atau sesuatu yang paling baik untuk diwujudkan dalam sikap dan perilaku
oleh setiap manusia (warga negara).
3.
Usaha untuk mewujudkan nilai, misal nilai dasar selalu melalui proses dalam
bentuk norma (sebagai nilai instrumental) yang mana norma ini selalu menuntut
setiap manusia (warga negara) untuk menaati.
4.
Bicara tentang moral dan etika ini hubungannya sangat erat sekali, sering
keduannya dianggap sama.
Namun
sebenarnya keduanya memiliki perbedaan. Moral merupakan suatu ajaran atau wejangan,
patokan-patokan, kumpulan peraturan, baik lisan maupun tertulis tentang
bagaimana mausia harus hidup dan bertindak menjadi manusia yang baik (Kaelan,
2002:180). Adapun etika, adalah suatu cabang filsafat, yaitu suatu pemikiran kritis
dan mendasar tentan ajaran dan pandangan-pandangan moral tersebut (Kramer,
1988, Darmodihardjo, 1966 dalamKaelan, 2002:180).
5.
Dengan pandangan hidup yang jelas dan mantap, maka suatu bangsa (indonesia)
termasuk warga negaranya akan memiliki pegangan dan pedoman bagaimana suatu
bangsa itu mengenal dan memecahkan persoalan-persoalan yang dihadapi, yang
menyangkut segala spek kehidupan.
*)
Guru Mapel PKn di SMAN 1 Pangalengan, aktivis masjid, pengamat social politik
DAFTAR
PUSTAKA
Anonim.
ISSN. 0216-7018. Mimbar 76/XIII/1995/6.Mimbar Pemasyarakatan dan Pembudayaan
P4.
A.
Kosasih Djahiri, A. Azis Wahab. 1996. Dasar Konsep Pendidikan Moral. Jakarta:
Depdikbud.
Dardji
Darmodihardjo. Mimbar 76/XIII/1995/6. Pengertian tentang Nilai, Norma,
Moral, Etika dan Pandangan Hidup. Manggala BP7.
Hassan
Suryono. 2005. Pancasila Progresif. Surakarta: Pustaka Cakra.
Kaelan, H.
MS. 2002. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.
Listyo
Sukamto. 1994. Etika Pancasila dan 36 Butir P.4. Surakarta: UNS Press.
Pramuda. L.
1995. Dasar Konsep Pendidikan Moral. Surakarta: UNS.
Sri
Haryati. dkk. 2009. Pendidikan Kewarganegaraan. Surakarta: PSG Rayon 13.
Sumarjo
Wreksosoehardjo. 2004. Pancasila sebagai Etika Politik. Surakarta: UNS.
Winarno,
S.Pd, M.Si. 2007. Paradigma Baru Pendidikan Kewarganegaraan. Jakarta:
Bumi Aksara.
Suyatno.
2024. "Nilai, Norma, Moral, Etika, dan Pandangan Hidup Perlu Dipahami
oleh Setiap Warga Negara dalam Kehidupan Berbangsa dan Bernegara."
Bandung: Sebuah Tinjauan terhadap Abstrak Suyatno.