Selasa, 26 Maret 2024

SEJARAH BUDAYA

 

SEJARAH TRADISI MUDIK DI INDONESIA

Oleh: Widiana, S.Pd

 



Satu pemandangan yang tampaknya tidak akan hilang pada setiap menjelang Lebaran misalnya, adalah tradisi mudik. Mudik memang telah menjadi tradisi yang berlangsung lama dalam kultur masyarakat Indonesia pada setiap tahunnya. Para pemudik adalah mereka yang hijrah ke kota, daerah lain, bahkan negara lain, untuk bertemu kembali dengan keluarga, sanak saudara, kerabat, dan sahabat. Tradisi mudik bukan hanya erat kaitannya dengan perayaan Idul Fitri, melainkan juga erat kaitannya dengan berbagai dimensi kehidupan manusia. Paling tidak ada tiga dimensi yang dapat kita amati dalam tradisi mudik. Pertama, mudik memiliki dimensi spiritual kultural.Mudik dianggap sebagai tradisi warisan yang dimiliki sebagian besar masyarakat Jawa. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Umar Kayam (2002) bahwa tradisi mudik terkait dengan kebiasaan petani Jawa mengunjungi tanah kelahiran untuk berziarah ke makam para leluhur.

 

                                                               Sumber:

https://www.rri.co.id/bali/wisata/202580/pemerhati-perkirakan-mudik-lebaran-berkontribusi-tingkatkan-pariwisata

Bagi sebagian besar masyarakat Jawa, kehidupan duniawi tidak dapat dilepaskan dari kehidupan nanti di alam keabadian. Begitu pula ikatan batin antara yang hidup dan yang mati tidak begitu saja lepas oleh hilangnya nyawa di jasad. Oleh karena itu, mereka menganggap bahwa berziarah dan mendoakan leluhur adalah kewajiban. Karena itu muncullah tradisi berziarah dalam kurun waktu tertentu meskipun dipisahkan oleh kondisi geografis. Nilai spiritual yang tertanam dalam tradisi berziarah inilah yang kemudian berdialektika dengan kultur masyarakat yang kemudian melahirkan tradisi mudik. Selain itu, mudik memiliki dimensi psikologis. Pulang ke kampung halaman bagi para pemudik bukan hanya sebatas untuk merayakan Lebaran bersama keluarga, tetapi juga untuk menghilangkan kepenatan beban kerja. Kerasnya kehidupan kota, bisingnya kota, dan berbagai tekanan kerja lainnya membuat para migran ini mengalami stres di tempat kerja, sementara keluarga yang menjadi tempat berbagi rasa jauh darinya. Tenangnya suasana kampung halaman, sejuknya alam pedesaan, ramahnya keluarga dan kerabat menjadi alasan yang tidak dapat ditolak untuk tidak mudik. Nostalgia kehidupan keluarga di kampung halaman juga menjadi salah satu obat mujarab untuk menghilangkan stres bagi masyarakat migran kota. Selain memuat dimensi spiritual dan psikologi, mudik juga memuat dimensi sosial. Menjadi migran kota dengan setumpuk cerita keberhasilan merupakan sebuah kebanggaan. Mudik menjadi salah satu media untuk mengkomunikasikan cerita keberhasilan sekaligus menaikkan posisinya pada strata sosial yang lebih tinggi dari sebelumnya.

 

Sumber:

https://indonews.id/artikel/324650/Simak-Ini-Persiapan-Pemerintah-Usai-Buka-Pintu-Mudik-Lebaran-2024/

Cerita sukses hidup di rantau biasanya diwujudkan dalam berbagai bentuk aksesoris dan gaya hidup para migran di tanah kelahiran. Tak pelak pada kondisi terakhir ini mudik juga menjadi media penyalur watak konsumeris dan hedonis. Dalam catatan Umar Kayam, mudik sejatinya tradisi lama yang pernah menghilang.Sejak Islam datang, mulai terkikisnya budaya syirik, ziarah menemukan momentum saat Lebaran. Apalagi kultur Jawa yang kemudian diterima oleh kalangan Islam tradisional menghasilkan akulturasi budaya yang harmoni. Perlahan ziarah kubur yang dianggap sebagai syirik dapat diterima oleh kalangan tradisional dengan disisipi ajaran agama. Mudik pun menjadi salah satu tradisi spiritual bagi masyarakat untuk melakukan ziarah ke makam leluhur. Sayangnya, tradisi mudik yang demikian kemudian luntur lantaran niat mudik hanya untuk sekedar klangenan (kesenangan), menghamburkan uang, menunjukkan sikap konsumeris dan hedonis. Akibatnya, mudik selalu menjadi persoalan, terutama terkait dengan kemacetan, kecelakaan, kriminalitas jalanan, percaloan, dan kenyamanan transportasi. Mudik dalam arti spiritual jarang dilakukan karena ia tidak banyak memberi kepuasan bagi para pemudik. Padahal tradisi mudik yang selama ini terjadi, jika dikaitkan dengan tradisi Lebaran, jauh dari spirit yang mestinya dibangun. Hal ini merupakan sebuah kewajaran karena nilai nilai spiritual lebih bersifat abstrak dan tidak dapat dirasakan oleh orang lain. Said Aqiel Siradj (2006) menegaskan bahwa makna tradisi Lebaran sebenarnya menyemai spirit spiritual vertikal. Dalam arti orang-orang yang merayakan harus kembali pada kefitrian (kesucian) jati diri kemanusiannya sebagai hamba Tuhan. Hal ini terkait dengan ibadah puasa yang dilakukan selama satu bulan penuh. Spiritual-vertikal manusia ditempuh dengan ibadah dan akan sempurna jika dilanjutkan pada kesalehan sosial-horizontal. Silaturahim menjadi wujud konkret dalam hal ini.

  


Sumber:

https://lifestyle.solopos.com/begini-hukum-silaturahmi-saat-lebaran-menurut-islam-1309514

Mudik seharusnya dimaknai dengan menyambung hubungan spiritual dengan para leluhur dan menyambut tali silaturahmi dengan keluarga, saudara, kerabat, dan sahabat. Bukan untuk kepentingan prestise sosial ataupun kepentingan material lainnya. Berdasarkan sejumlah argumentasi itulah, tradisi mudik memuat makna kultural, yang menyangkut identitas dan asal-usul entitas sosial-budaya. Tradisi mudik telah menjadi dialektika kultural yang sudah berjalan berabad-abad lamanya. Dan, merupakan tradisi primordial masyarakat petani Jawa yang sudah dikenal jauh sebelum berdiri Kerajaan Majapahit. Dalam kebudayaan Jawa misalnya, mudik berarti memuat makna tentang asal-usul genetis dan transendental, sekaligus juga memuat makna asal-usul ruang atau tempat. Misalnya, dalam bahasa Jawa, kata dalem merujuk tentang makna tempat tinggal. Namun, tempat tinggal yang dimaksud bukanlah rumah, melainkan simbol identitas. Dengan demikian, ikatan asalusul sangat kuat bagi para migran² meskipun telah lama tinggal di kota. Dari sini tampak bahwa fenomena mudik mengimplikasikan suatu heteronomi kultural. Para pemudik berada pada sisi tarik-menarik antara situasi dan nilai-nilai baru dengan yang lama. Di satu sisi mereka tak bisa memungkiri bahwa mereka hidup, bekerja, berdomisili, dan berumah di kota. Di sisi lain, mereka sangat terikat dengan desa yang menjadi asal-usulnya. Hal ini berarti bahwa tradisi mudik memperlihatkan betapa masyarakat kita sangat dikendalikan oleh masa silamnya. Kepulangan para pemudik ke desanya merupakan simbol romantisme masyarakat kita. Tantangannya terletak pada pengalaman bahwa romantisme cenderung lebih bersifat reaktif ketimbang kreatif. Lebih dari itu, tradisi mudik menggambarkan masih kuatnya ikatan primordial masyarakat. Dan sayangnya, ikatan-ikatan primordial itu justru tumbuh pada mereka yang telah tinggal di kota, yang nilai-nilainya seharusnya lebih berwatak mondial. Persoalannya adalah bahwa primordialisme cenderung bersifat absolut dan tertutup. Akibatnya, tradisi mudik justru mempertajam dikotomi makna bertempat-tinggal (dalem) dan berumah (griya). Kota, bagi para pemudik tak lebih dari rumah tempat berteduh. Namun sebenarnya mereka masih bertempat tinggal di desa asalnya. Hal ini mempertegas perbedaan intensitas kepedulian orang terhadap lingkungannya. Intensitas kepedulian orang terhadap rumah (griya) cenderung lebih rendah daripada terhadap tempat tinggal (dalem). Jika sikap primordial ini lebih mengemuka, maka pada dasarnya kota menyisakan kemacetan jalan raya, kekumuhan perumahan, bahkan kriminalitas di perkotaan.

 


                                                               Sumber:

https://news.okezone.com/read/2015/07/24/510/1185178/jabodetabek-masih-jadi-tujuan-utama-urbanisasi

Dari sinilah, tradisi mudik justru memperingatkan kita untuk tidak sekadar Sebaliknya, fenomena mudik menunjukkan betapa wajah kebudayaan kita retak dalam tarik-menarik yang tak pernah tuntas. Yang terpenting adalah mengubah asal-usul dari sekadar suatu ikatan yang menyesakkan menjadi suatu simpul orientasi ke masa depan. Artinya, tradisi mudik bukan semata-mata untuk kembali ke asal-usul, sebab asal-usul menjadi sangat absurd ketika hanya kita sikapi sebagai tujuan. Mudik, alangkah eloknya justru mampu mengkonstruksi kesadaran bahwa asal-usul menjadi titik tolak masa depan negeri ini.

 

** dikutif darinberbagain sumber

*) Guru Mata Pelajaran Sejarah di SMA Negeri 1 Pangalengan, Ibu Rumah tangga pemerhati masalah sosial budaya

2 komentar:

  1. Assalammualaikum.wr.wb.terima kasih ilmu hr ini.berguna dan bermanfaat.(M.Farrel Aqil kelas XC)

    BalasHapus

SAINSTOLOGY

  FORENSIK, ILMU PENGGUNGKAP MISTERI KEJAHATAN Oleh: Redaksi Literatsmansa Ananda yang baik, Setiap terjadi peristiwa kejahatan yang men...