SEJARAH TRADISI MUDIK DI INDONESIA
Oleh: Widiana, S.Pd
Satu pemandangan yang tampaknya
tidak akan hilang pada setiap menjelang Lebaran misalnya, adalah tradisi mudik.
Mudik memang telah menjadi tradisi yang berlangsung lama dalam kultur
masyarakat Indonesia pada setiap tahunnya. Para pemudik adalah mereka yang
hijrah ke kota, daerah lain, bahkan negara lain, untuk bertemu kembali dengan
keluarga, sanak saudara, kerabat, dan sahabat. Tradisi mudik bukan hanya erat
kaitannya dengan perayaan Idul Fitri, melainkan juga erat kaitannya dengan
berbagai dimensi kehidupan manusia. Paling tidak ada tiga dimensi yang dapat
kita amati dalam tradisi mudik. Pertama, mudik memiliki dimensi spiritual
kultural.Mudik dianggap sebagai tradisi warisan yang dimiliki sebagian besar
masyarakat Jawa. Hal ini sebagaimana diungkapkan oleh Umar Kayam (2002) bahwa
tradisi mudik terkait dengan kebiasaan petani Jawa mengunjungi tanah kelahiran
untuk berziarah ke makam para leluhur.
Sumber:
https://www.rri.co.id/bali/wisata/202580/pemerhati-perkirakan-mudik-lebaran-berkontribusi-tingkatkan-pariwisata
Bagi sebagian besar masyarakat Jawa,
kehidupan duniawi tidak dapat dilepaskan dari kehidupan nanti di alam
keabadian. Begitu pula ikatan batin antara yang hidup dan yang mati tidak
begitu saja lepas oleh hilangnya nyawa di jasad. Oleh karena itu, mereka menganggap
bahwa berziarah dan mendoakan leluhur adalah kewajiban. Karena itu muncullah
tradisi berziarah dalam kurun waktu tertentu meskipun dipisahkan oleh kondisi
geografis. Nilai spiritual yang tertanam dalam tradisi berziarah inilah yang
kemudian berdialektika dengan kultur masyarakat yang kemudian melahirkan
tradisi mudik. Selain itu, mudik memiliki dimensi psikologis. Pulang ke kampung
halaman bagi para pemudik bukan hanya sebatas untuk merayakan Lebaran bersama
keluarga, tetapi juga untuk menghilangkan kepenatan beban kerja. Kerasnya
kehidupan kota, bisingnya kota, dan berbagai tekanan kerja lainnya membuat para
migran ini mengalami stres di tempat kerja, sementara keluarga yang menjadi
tempat berbagi rasa jauh darinya. Tenangnya suasana kampung halaman, sejuknya
alam pedesaan, ramahnya keluarga dan kerabat menjadi alasan yang tidak dapat
ditolak untuk tidak mudik. Nostalgia kehidupan keluarga di kampung halaman juga
menjadi salah satu obat mujarab untuk menghilangkan stres bagi masyarakat
migran kota. Selain memuat dimensi spiritual dan psikologi, mudik juga memuat
dimensi sosial. Menjadi migran kota dengan setumpuk cerita keberhasilan
merupakan sebuah kebanggaan. Mudik menjadi salah satu media untuk
mengkomunikasikan cerita keberhasilan sekaligus menaikkan posisinya pada strata
sosial yang lebih tinggi dari sebelumnya.
Sumber:
https://indonews.id/artikel/324650/Simak-Ini-Persiapan-Pemerintah-Usai-Buka-Pintu-Mudik-Lebaran-2024/
Cerita sukses hidup di rantau
biasanya diwujudkan dalam berbagai bentuk aksesoris dan gaya hidup para migran
di tanah kelahiran. Tak pelak pada kondisi terakhir ini mudik juga menjadi
media penyalur watak konsumeris dan hedonis. Dalam catatan Umar Kayam, mudik
sejatinya tradisi lama yang pernah menghilang.Sejak Islam datang, mulai
terkikisnya budaya syirik, ziarah menemukan momentum saat Lebaran. Apalagi
kultur Jawa yang kemudian diterima oleh kalangan Islam tradisional menghasilkan
akulturasi budaya yang harmoni. Perlahan ziarah kubur yang dianggap sebagai
syirik dapat diterima oleh kalangan tradisional dengan disisipi ajaran agama.
Mudik pun menjadi salah satu tradisi spiritual bagi masyarakat untuk melakukan
ziarah ke makam leluhur. Sayangnya, tradisi mudik yang demikian kemudian luntur
lantaran niat mudik hanya untuk sekedar klangenan (kesenangan), menghamburkan
uang, menunjukkan sikap konsumeris dan hedonis. Akibatnya, mudik selalu menjadi
persoalan, terutama terkait dengan kemacetan, kecelakaan, kriminalitas jalanan,
percaloan, dan kenyamanan transportasi. Mudik dalam arti spiritual jarang
dilakukan karena ia tidak banyak memberi kepuasan bagi para pemudik. Padahal
tradisi mudik yang selama ini terjadi, jika dikaitkan dengan tradisi Lebaran,
jauh dari spirit yang mestinya dibangun. Hal ini merupakan sebuah kewajaran
karena nilai nilai spiritual lebih bersifat abstrak dan tidak dapat dirasakan
oleh orang lain. Said Aqiel Siradj (2006) menegaskan bahwa makna tradisi
Lebaran sebenarnya menyemai spirit spiritual vertikal. Dalam arti orang-orang
yang merayakan harus kembali pada kefitrian (kesucian) jati diri kemanusiannya
sebagai hamba Tuhan. Hal ini terkait dengan ibadah puasa yang dilakukan selama
satu bulan penuh. Spiritual-vertikal manusia ditempuh dengan ibadah dan akan
sempurna jika dilanjutkan pada kesalehan sosial-horizontal. Silaturahim menjadi
wujud konkret dalam hal ini.
Sumber:
https://lifestyle.solopos.com/begini-hukum-silaturahmi-saat-lebaran-menurut-islam-1309514
Mudik seharusnya dimaknai dengan
menyambung hubungan spiritual dengan para leluhur dan menyambut tali
silaturahmi dengan keluarga, saudara, kerabat, dan sahabat. Bukan untuk
kepentingan prestise sosial ataupun kepentingan material lainnya. Berdasarkan
sejumlah argumentasi itulah, tradisi mudik memuat makna kultural, yang
menyangkut identitas dan asal-usul entitas sosial-budaya. Tradisi mudik telah
menjadi dialektika kultural yang sudah berjalan berabad-abad lamanya. Dan,
merupakan tradisi primordial masyarakat petani Jawa yang sudah dikenal jauh
sebelum berdiri Kerajaan Majapahit. Dalam kebudayaan Jawa misalnya, mudik
berarti memuat makna tentang asal-usul genetis dan transendental, sekaligus
juga memuat makna asal-usul ruang atau tempat. Misalnya, dalam bahasa Jawa,
kata dalem merujuk tentang makna tempat tinggal. Namun, tempat tinggal yang
dimaksud bukanlah rumah, melainkan simbol identitas. Dengan demikian, ikatan
asalusul sangat kuat bagi para migran² meskipun telah lama tinggal di kota.
Dari sini tampak bahwa fenomena mudik mengimplikasikan suatu heteronomi
kultural. Para pemudik berada pada sisi tarik-menarik antara situasi dan
nilai-nilai baru dengan yang lama. Di satu sisi mereka tak bisa memungkiri
bahwa mereka hidup, bekerja, berdomisili, dan berumah di kota. Di sisi lain,
mereka sangat terikat dengan desa yang menjadi asal-usulnya. Hal ini berarti
bahwa tradisi mudik memperlihatkan betapa masyarakat kita sangat dikendalikan
oleh masa silamnya. Kepulangan para pemudik ke desanya merupakan simbol romantisme
masyarakat kita. Tantangannya terletak pada pengalaman bahwa romantisme
cenderung lebih bersifat reaktif ketimbang kreatif. Lebih dari itu, tradisi
mudik menggambarkan masih kuatnya ikatan primordial masyarakat. Dan sayangnya,
ikatan-ikatan primordial itu justru tumbuh pada mereka yang telah tinggal di
kota, yang nilai-nilainya seharusnya lebih berwatak mondial. Persoalannya
adalah bahwa primordialisme cenderung bersifat absolut dan tertutup. Akibatnya,
tradisi mudik justru mempertajam dikotomi makna bertempat-tinggal (dalem) dan
berumah (griya). Kota, bagi para pemudik tak lebih dari rumah tempat berteduh.
Namun sebenarnya mereka masih bertempat tinggal di desa asalnya. Hal ini
mempertegas perbedaan intensitas kepedulian orang terhadap lingkungannya.
Intensitas kepedulian orang terhadap rumah (griya) cenderung lebih rendah
daripada terhadap tempat tinggal (dalem). Jika sikap primordial ini lebih
mengemuka, maka pada dasarnya kota menyisakan kemacetan jalan raya, kekumuhan
perumahan, bahkan kriminalitas di perkotaan.
https://news.okezone.com/read/2015/07/24/510/1185178/jabodetabek-masih-jadi-tujuan-utama-urbanisasi
Dari sinilah, tradisi mudik justru
memperingatkan kita untuk tidak sekadar Sebaliknya, fenomena mudik menunjukkan
betapa wajah kebudayaan kita retak dalam tarik-menarik yang tak pernah tuntas.
Yang terpenting adalah mengubah asal-usul dari sekadar suatu ikatan yang
menyesakkan menjadi suatu simpul orientasi ke masa depan. Artinya, tradisi
mudik bukan semata-mata untuk kembali ke asal-usul, sebab asal-usul menjadi
sangat absurd ketika hanya kita sikapi sebagai tujuan. Mudik, alangkah eloknya
justru mampu mengkonstruksi kesadaran bahwa asal-usul menjadi titik tolak masa
depan negeri ini.
** dikutif darinberbagain sumber
*) Guru Mata Pelajaran Sejarah di
SMA Negeri 1 Pangalengan, Ibu Rumah tangga pemerhati masalah sosial budaya
👍🏻👍🏻
BalasHapusAssalammualaikum.wr.wb.terima kasih ilmu hr ini.berguna dan bermanfaat.(M.Farrel Aqil kelas XC)
BalasHapus