Oleh:
Erna Nurfaulina, S.Pd. *)
Sumber: https://depositphotos.com/id/photos/moralitas.html
Modernitas membawa banyak manfaat. Teknologi memudahkan akses pendidikan, komunikasi menjadi tanpa batas, dan banyak peluang baru tercipta di berbagai bidang. Namun, kemajuan ini tidak selalu seiring dengan kemajuan dalam sikap dan perilaku. Kemudahan yang ditawarkan dunia digital, misalnya, justru seringkali membuat manusia lupa cara menjadi manusia. Bersembunyi di balik layar, orang bebas berkata kasar, menghakimi, menyebar hoaks, bahkan merendahkan orang lain tanpa rasa bersalah.
Dulu, sopan santun adalah hal utama yang diajarkan sejak kecil. Sekarang? Banyak yang merasa lebih penting untuk menjadi populer daripada bermoral. Ucapan yang santun dianggap terlalu “lembek”, sikap hormat dianggap “jaim” (jaga image), dan perilaku sopan kerap dikira tidak keren. Padahal, nilai-nilai seperti itulah yang justru menjadi penopang hubungan sosial, bahkan jauh sebelum era digital hadir.
Moralitas bukan sekadar tata krama atau formalitas sosial. Ia adalah kompas batin yang menuntun seseorang dalam mengambil keputusan dan berinteraksi dengan orang lain. Tanpa moralitas, manusia akan mudah terjebak dalam kepentingan pribadi, kebebasan yang tanpa batas, bahkan perilaku merugikan orang lain. Inilah yang sering kita lihat sekarang: kebebasan yang tidak disertai tanggung jawab.
Sumber: https://depositphotos.com/id/photos/moralitas.html?qview=488262638
Tantangan moral di era modern tidak hanya datang dari luar, tetapi juga dari dalam diri kita sendiri. Dunia digital membentuk budaya instan—semua serba cepat, serba praktis, dan serba bisa diakses dalam hitungan detik. Maka, kesabaran menjadi barang langka. Orang ingin sukses secepat mungkin, ingin viral dengan cara apa pun, ingin diakui tanpa perlu proses. Di sinilah godaan untuk "mengakali" nilai moral mulai muncul: mencontek demi nilai, berbohong demi citra, bersikap kasar demi sensasi.
Namun apakah ini harga dari modernitas? Tentu tidak seharusnya. Modernitas seharusnya memberi kita peluang untuk menjadi manusia yang lebih baik—bukan hanya lebih canggih secara teknologi, tapi juga lebih bijak secara hati. Justru di tengah arus deras kemajuan, manusia perlu semakin kokoh memegang nilai-nilai moral. Tanpa itu, kita hanya menjadi makhluk modern yang kehilangan arah.
Pendidikan nilai menjadi kunci penting. Literasi bukan hanya soal membaca dan menulis, tapi juga membaca zaman dan memahami nilai-nilai kehidupan. Di sinilah peran keluarga, sekolah, dan lingkungan sangat penting. Anak muda perlu dikenalkan kembali pada nilai-nilai luhur bangsa seperti gotong royong, kejujuran, toleransi, dan rasa hormat. Tapi cara penyampaiannya juga harus relevan dengan zaman—tidak kaku, tidak menggurui, dan tidak membosankan.
Media sosial, misalnya, bisa menjadi alat untuk menyebarkan pesan moral. Banyak kreator konten muda yang kini mengangkat tema edukatif dengan cara yang ringan dan menghibur. Ini contoh positif bahwa moralitas dan modernitas bisa bersanding, bukan saling mengalahkan. Teknologi juga bisa menjadi alat untuk membangun empati, memperluas wawasan, dan mempererat koneksi antarmanusia—asal digunakan dengan bijak.
Sumber: https://penajamkab.go.id/etika-bermedia-sosial/
Kita juga perlu menyadari bahwa menjadi bermoral di zaman sekarang memang tidak mudah. Ada tekanan sosial, ada godaan popularitas, ada tantangan untuk tetap idealis di tengah realitas yang kompleks. Tapi justru karena itu, orang-orang yang tetap memegang nilai-nilai moral menjadi sangat berarti. Mereka adalah pengingat bahwa di dunia yang bising ini, masih ada suara hati yang berbicara.
Menjadi manusia modern bukan berarti melupakan akar. Kita boleh terbuka terhadap budaya global, berpikir kritis, dan berinovasi. Tapi jangan pernah lupa bahwa identitas kita sebagai manusia tetap berakar pada nilai: menghormati sesama, menjaga integritas, memiliki empati, dan berani bertanggung jawab atas tindakan sendiri. Nilai-nilai ini tidak usang—justru menjadi sangat relevan untuk menghadapi tantangan dunia yang semakin rumit.
Sumber: https://www.kompasiana.com/iqbalanggiayusuf1711/65cfe849c57afb67410addd3/empati-
Pada akhirnya, moralitas bukan sekadar aturan, tapi fondasi untuk hidup yang lebih manusiawi. Dunia mungkin terus berubah, tapi manusia tetap butuh kehangatan, kejujuran, dan rasa hormat. Ketika teknologi semakin canggih, hati nurani justru harus makin tajam. Karena di dunia yang serba cepat, orang yang tetap teguh memegang nilai-nilai kebaikan adalah mereka yang benar-benar kuat.
**)
dari berbagai sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar