Perayaan Hari Lingkungan Hidup Sedunia yang digagas oleh Lembaga Lingkungan Hidup Dunia (UNEP) tanggal 5 Juni 1972 ( 53 tahun yang lalu). Pada tahun 2025, tema yang dicanangkan adalah #BeatPlasticPollution, yakni upaya mengakhiri polusi plastic global!!

Senin, 02 Juni 2025

bahaSABUdaya

 

"Suara Hati dan Kebebasan Berpikir"

Oleh: Hj. Ani Haelani, SS., M.Pd., MIL *)


     Kita akan bisa menemukan benang merah antara nilai-nilai yang terkandung dalam QS Yunus ayat 43 dan pendapat Albert Einstein tentang pentingnya berpikir secara mandiri.

QS Yunus ayat 43:

“Dan di antara mereka ada orang yang memandangmu. Padahal Kami tidak menjadikan mata hati mereka dapat memahami, dan tidak pula menjadikan telinga mereka dapat mendengar. Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka itulah orang-orang yang lalai.”

(QS Yunus: 43).

     Makna utama:

     Ayat ini menggambarkan bahwa sebagian orang melihat secara fisik, namun mata hatinya buta — tidak mampu menangkap kebenaran. Ini adalah bentuk kritik terhadap kelalaian berpikir dan ketertutupan hati, di mana manusia diberi potensi akal dan nurani, namun tidak menggunakannya untuk memahami kebenaran.

Pendapat Albert Einstein:

     "Setiap orang yang terlalu banyak membaca dan terlalu sedikit menggunakan otaknya sendiri akan malas berpikir." — Albert Einstein.

Sumber: ttps://www.topbusiness.id/96432/disebut-einstein-keajaiban-dunia-ini

Makna utama:

     Einstein menekankan pentingnya berpikir kritis dan mandiri. Bacaan (informasi) memang penting, tetapi jika tidak diimbangi dengan penggunaan akal secara aktif, maka manusia menjadi pasif dan kehilangan daya nalar. Ini kritik terhadap sikap menelan mentah-mentah informasi tanpa merenung atau mengujinya.    

     Keterkaitan Keduanya:

     Baik QS Yunus ayat 43 maupun pendapat Einstein sama-sama menyoroti bahaya sikap pasif dalam berpikir:

Dalam QS Yunus 43: Mengkritik manusia yang tidak menggunakan hati dan akalnya untuk memahami. Albert Einstein: Mengkritik orang yang hanya menyerap informasi tanpa berpikir kritis.

QS Yunus 43: Menunjukkan degradasi moral dan spiritual akibat kelalaian berpikir. Albert Einstein: Menunjukkan kemunduran intelektual akibat kemalasan berpikir.

QS Yunus 43: Ajakannya: gunakan akal dan hati nurani. Albert Einstein: Ajakannya: gunakan nalar pribadi.

Contoh Premis yang menggunakan "akal dan hati nurani":

"Membantu sesama yang sedang kesusahan adalah kewajiban moral karena itu merupakan bentuk empati dan nilai kemanusiaan yang dijunjung tinggi oleh nurani dan akal sehat manusia."

     Penjelasan:

     Premis ini menggabungkan pertimbangan logis (akal) dan perasaan moral batiniah (hati nurani) dalam menyimpulkan bahwa membantu sesama adalah tindakan yang benar.

Contoh Premis yang menggunakan "nalar pribadi":

"Saya percaya bahwa bekerja keras tanpa mengharapkan hasil langsung adalah cara terbaik mencapai kesuksesan, karena berdasarkan pengalaman saya, hasil yang baik datang dari konsistensi, bukan kecepatan."

     Penjelasan:

     Premis ini lahir dari pengalaman pribadi dan pemikiran mandiri (nalar pribadi), bukan nilai universal atau moral umum. Ia bersifat subjektif dan reflektif terhadap pandangan individual.

     Kebebasan berpikir bukanlah suatu hal yang berbahaya apabila disinergikan dengan suara hati atau fitrah manusia yang dilandasi dengan usaha mencari kebenaran demi kemaslahatan umat manusia. Dalam perspektif syariat, kita mengenal istilah ijtihad, yaitu menggunakan potensi akal secara sungguh-sungguh -- dengan bebrapa persyaratan tertentu -- untuk mengatasi berbagai masalah kehidupan. Rasulullah Saw. menegaskan, "Bila kita berijtihad dan benar, akan mendapat dua pahala; bila kita berijtihad dan ternyata keliru, akan mendapat satu pahala" (HR. Abu Dawud dan Al-Turmudzi).

     Ijtihad dan kebebasan berpikir dapat memunculkan inovasi-inovasi atau karya-karya yang segar juga orisinal yang mampu mencerahkan kehidupan dan peradaban manusia. Akal merupakan anugerah Allah SWT untuk manusia yang tak ternilai harganya.

     Kebebasan Berpikir Tanpa Hati Nurani

     Akal dan pikiran yang dianugerahkan Allah SWT kepada manusia seharusnya bisa didayagunakan untuk menata kelangsungan kehidupan manusia di dunia ini. Di sini, ada "ilmu" dan "iman". Dengan ilmu dan iman, manusia mampu menebarkan kasih sayang, membantu yang lemah, dan menjadi rahmat bagi alam semesta.

Sumber: https://klikmu.co/kemerdekaan-berpikir-pilar-utama-demokrasi-dan-kemanusiaan

     Namun, ada bahayanya jika manusia hanya menggunakan akal sembari mengabaikan suara hati, fitrah, dan iman. Inilah yang disebut rasionalisme, yaitu paham yang mendewa-dewakan akal di atas segalanya. Alih-alih memberi manfaat, kaum rasionalis justru bisa membahayakan kehidupan dan peradaban manusia. Misalnya, hasil karya mereka digunakan untuk hal-hal destruktif yang bisa menghancurkan kehidupan manusia itu sendiri. Akibatnya, rusaklah tatanan peradaban dan kemanusiaan.

     Sebagai contoh, penemuan bom atom dan nuklir oleh para ilmuwan justru membahayakan kelangsungan hidup umat manusia. Bom atom dan nuklir sering disalahgunakan manusia untuk saling menghancurkan sesamanya melalui perang. Bukankah dua kota di Jepang, yaitu Nagasaki dan Hirosima, pernah luluh lantak oleh keganasan bom atom? Bukankah sudah banyak umat manusia yang menjadi korban keganasan reaktor nuklir dan senjata nuklir? Bukankah nuklir bisa didayagunakan menjadi senjata pemusnah massal yang mengerikan? Sekali tekan tombol, jutaan umat manusia bisa meninggal dalam waktu sekejap! Inilah paradoks manusia modern, dunia modern, dan kemodernan. Karena hanya menggunakan akal tanpa iman, manusia modern semakin terasing dari dirinya sendiri. Lebih ironis lagi, manusia modern bisa mengancam kelangsungan hidup dan peradabannya sendiri.

     Mari kita simak pandangan kalangan antirasionalis seperti diungkapkan Wordsword, seorang penyair, bahwa kondisi hutan di musim semi bisa mengajari kita lebih banyak mengenai manusia, kejahatan, dan kebaikan moral, daripada yang dapat diajarkan oleh para pemikir, cendikiawan, dan sosok arif-bijaksana lainnya. Padukanlah ilmu (pengetahuan) dan sebi secara menawan. Suara hati yang bening senantiasa inklusif, toleran, dan menebar kedamaian. Akan lebih dahsyat lagi kalau suara hati berpadu dengan rasio secara seimbang. Kalangan anti-rasionalis juga beranggapan bahwa emosi lebih tinggi daripada pikiran, hati lebih mulia daripada kepala. Seperti kata psikolog Freud, "Libido lebih baik daripada intelek".

Sumber: https://bestplanterindonesia.com/bagaimana-pikiran-bisa-mempengaruhi-perasaan-dan-emosi/

     Kita layak mengapresiasi pandangan kalangan antirasionalis tersebut. Namun, bukan berarti mereka beranggapan bahwa alat pikir itu buruk atau akal itu jahat. Mereka hanya beranggapan bahwa rasio itu lemah pada kebanyakan manusia di sebagian besar tempat dan waktu karena tidak dilandasi oleh fitrah dan hati nurani. Sebenarnya akal tidak buruk atau salah, tetapi manusialah yang menyalahgunakan hasil-hasil pemikiran dan penemuan akal pikiran  Apabila fitrah dan kebebasan berpikir dapat bersinergi, akan lahirlah karya dan pemikiran luar biasa yang mencerahkan kehidupan dan peradaban manusia.

     Contoh kasus yang menyangkut soal perpaduan kedua variabel tersebut -- rasio dan hati, serta kebebasan berpikir dan fitrah -- bisa kita simak dari ilustrasi Ary Ginanjar Agustian sebagai berikut:

     Di Indonesia, bisnis air mineral atau air putih yang dikemas dalam botol plastik saat ini begitu marak di mana-mana. Kini sudah ada ratusan perusahaan yang bergerak di bidang ini. Pelopornya adalah merek Aqua. Sebelum Aqua diluncurkan, semua orang saat itu tidak pernah menyangka sama sekali bahwa air di dalam botol plastik akan menjadi bisnis raksasa. Mengapa? Mereka, termasuk kita, sudah terbiasa minum air putih di dalam gelas, bukan botol. Minum air di dalam botol tidak pernah terpikirkan. Pikiran kita sudah terbelenggu oleh tradisi minum air di dalam gelas. Tanpa kita sadari, kita ternyata: "tidak merdeka dalam berpikir dan dijajah oleh belenggu tradisi." Walapun air putih selalu kita lihat sehari-hari, kita tidak mampu melihat peluang bahwa orang seringkali membutuhkan air putih sebagai pelepas dahaga di tengah perjalananan. Saat jutaan orang kesulitan mencari air putih, kita tidak bisa melihat peluang raksasa ini, karena "hati" dan "pikiran" kita tertutup oleh kebiasaan dan tradisi.

     Dampak Kebebasan Berpikir

     Sekarang,  marilah kita mencoba melihat sejarah kebebasan berpikir beserta produk dan pengaruhnya pada masa antara abad ke-8 dan ke-13 Masehi yang mengantarkan umat Islam kepada kemajuan sains dan teknologi. Kita juga menengarai terbentuknya peradaban dunia Barat pada abad ke-16 yang dikenal dengan bangkitnya Renaisans, yaitu kelahiran kembali produk budaya Yunani dan Romawi. Gerakan yang bernama Humanisme kemudian mengungkapkan kembali  pemikiran-pemikiran Yunani kuno, seperti pemikiran Aristoteles, Socrates, dan lain-lain. Pengungkapan kembali pemikiran Yunani dan Romawi oleh para penganut Humanisme Barat dapat dijembatani akibat persentuhan Eropa Barat dengan budaya Islam yang pada Abad Pertengahan justru telah berkembang dengan megah dan memasuki Eropa Barat melalui Spanyol.

 
Sumber: ttps://bulir.id/humanisme-posthumanisme-dan-transhumanisme

     Kemajuan peradaban Islam pada masa itu dapat kita lihat dari berkembangnya peradaban budaya di Bagdad, Irak. Kisah "Seribu Satu Malam",  misalnya, menggambarkan Kota Bagdad dengan jalan-jalannya yang lebar, bangunan-bangunan gedungnya yang indah, lampu-lampu yang menyala di malam hari. Sementara pada masa yang bersamaan, Eropa masih merupakan perkampungan-perkampungan yang sangat sederhana. Demikian juga Amerika, masih merupakan perkampungan yang becek, berlorong, dan tidak memiliki gedung dan bangunan yang indah dan megah.

     Menurut Orientalis Inggris, David Braham daam bukunya, "Bagdad in The Middle Ages", pada Abad pertengahan, orang-orang Barat, khususnya dalam dari Kordoba, Spanyol, berbondong-bondong ke Bagdad untuk menuntut ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, sangat tepat pernyataan Sejarahwan Mesir, Fahmi Abdel Wassil yang mengungkapkan bahwa jika Makkah dan Madinah merupakan pusat spiritual umat Islam, Bagdad dalam Abad Pertengahan pantas dijuluki sebagai pusat peradaban Islam karena ilmu pengetahuannya berkembang sedemikian pesat.

     Setelah Barat bersentuhan dengan pemikiran-pemikiran dari dunia Islam, mulailah mereka mengenal peradaban-peradaban maju yang dibangun oleh Mesopotamia, Babilonia, Mesir, Yunani, Romawi, dan Cina. Peradaban Barat pun berkembang pesat, dan kebebasan berpikir memperoleh ruang lebar. Ilmu pengetahuan bergerak maju.

     Tetapi kebebasan berpikir dan berekspresi yang tidak dilandasi dengan fitrah akan melahirkan peradaban yang buruk. Di sini, manusia yang kuat mendindas yang lemah. Akal dijadikan sebagai alat untuk menghancurkan tatanan kegidupan nasyarakat. Sebaliknya, kebebasan berpikir dan kemerdekaan berkreasi yang dilandasi dengan fitrah dan kepekaan hati nurani akan melahirkan inovasi dan karya-karya besar yang mencerahkan. Dengan kebebasan berpikir plus kepekaan hati nurani, setiap orang, kelompok, lembaga, atau perusahaan akan mampu berkreasi dan berbuat sesuatu yang luar biasa dalam kehidupannya.

Ya Khaliq, Engkaulah Yang Maha Berkreasi

Ampunilah kami yang sering berburuk sangka

Ampunilah kami yang selalu iri

Ampunilah kami yang hanya bisa mencaci dan mencela

namun tidak mampu melahirkan karya

yang bermanfaat bagi orang lain

Ya 'Alim, Engkaulah Yang Maha Mengetahui!

Ampunilah kami yang tidak mau belajar dengan tanda-tanda kebesaran-Mu

Ampunilah kami yang tidak mau membaca

siapa diriku sesungguhnya

      "Apakah mereka tidak mengembara di bumi sehingga hati mereka dapat memikirkan sesuatu atau telinga mereka dapat mendengar? Sungguh, bukan mata mereka yang buta, melainkan hatinya yang ada di dalam rongga dada."(QS. Al-Hajj (22): 46).

     Suara hati dan kebebasan berpikir adalah anugerah Tuhan dan kekuatan manusia. Kedua sumber ini menegaskan bahwa berpikir aktif dan sadar adalah ciri manusia sejati. Ketika seseorang tidak berpikir dengan akalnya sendiri, maka ia kehilangan arah moral maupun intelektual, terlalu ketergantungan kepada opini orang lain, atau bahkan menjadi manusia objek yang tidak mandiri atau ikut-ikutan.

     Gunakan hati dan akal untuk mencari kebenaran, bukan hanya menerima apa yang tampak atau terdengar.

 

*) Guru Bahasa Indonesia di SMAN 1 Pangalengan, Koordinator Gerakan Literasi Sekolah, praktisi menulis, ibu rumah tangga pemerhati masalah remaja dan pendidikan

Referensi:

Amri, Masrukhul. 2024. "Hidup untuk Hidup". Bandung: Mizan Media Utama.

Nasution, Ahmad Taufik. 2005. "Metode Menjernihkan Hati". Bandung: Al-Bayan, PT Mizan Pustaka.

Beserta sumber rujukan lain yang relevan.

8 komentar:

  1. Terimakasih banyak ibu atas ilmu nya

    BalasHapus
  2. Literasinyaa sangat bagus ibu,terimakasih! Dengan membaca literasi ini aku jadi memahami kebebasan berfikir

    BalasHapus
  3. terimakasih ibu untuk literasinya

    BalasHapus
  4. Makasih ibuu ilmunya 👍

    BalasHapus
  5. ALY NUR MUHAMAD AL FARIZ X-A3 Juni 2025 pukul 13.47

    Terima kasih bu literasinya 🙏

    BalasHapus
  6. Bagus banget terimakasih ibu literasi nya sangat bermanfaat sekali

    BalasHapus
  7. sangat luar biasa,ternyata benar tanpa disadari kita masih dijajah oleh belenggu tradisi

    BalasHapus

HUMANICA

  "Ketika Moralitas Diuji oleh Modernitas" Oleh: Erna Nurfaulina, S.Pd. *) Di tengah gemerlap dunia modern, di mana teknologi ...