QUO
VADIS BUDAYA SUNDA?
Oleh:
Redaksi Literatsmansa
Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=KhvMusxejLo
Kebudayaan Sunda kini seperti sedang kehilangan ruhnya, kemampuan beradaptasi, kemampuan mobilitas, kemampuan tumbuh dan berkembang, serta kemampuan regenerasi. Sebenarnya, kebudayaan Sunda termasuk kebudayaan suku salah bangsa satu di Indonesia yang berusia tua. Apabila dibandingkan dengan kebudayaan Jawa, kebudayaan Sunda sebenarnya termasuk kebudayaan yang berusia relatif lebih tua, terutama dalam hal pengenalan budaya tulis. Kemampuan beradaptasi kebudayaan Sunda, terutama dalam merespon berbagai tantangan yang muncul, memperlihatkan tampilan yang kurang begitu menggembirakan. Bahkan, kebudayaan Sunda seperti tidak memiliki daya hidup apabila berhadapan dengan tantangan dari luar, sehingga tidak mengherankan bila banyak unsur kebudayaan Sunda yang tergeser oleh kebudayaan luar.
Sumber:
https://novianiwiandari24.blogspot.com/2017/05/budaya-sunda.html
Salah
satu contoh adalah penggunaan Bahasa Sunda. Bahasa Sunda yang merupakan bahasa
komunitas orang Sunda, di kalangan tertentu semakin jarang digunakan oleh
pemiliknya sendiri, khususnya para generasi muda Sunda. Lebih memprihatinkan
lagi, menggunakan bahasa Sunda dalam komunikasi sehari-hari terkadang diidentikkan
dengan ´keterbelakangan’ atau kuno. Akibatnya, timbul rasa gengsi pada orang
Sunda untuk menggunakan bahasa Sunda dalam pergaulannya sehari-hari. Fenomena mamah muda (mahmud) yang
cendrung lebih senang mengajarkan dan menggunakan bahasa Indonesia kepada para
anaknya dibanding mengenalkan bahasa Sunda yang merupakan bahasa ibu bagi
mereka. Penggunaan nama-nama “berbau” Sunda sudah jarang digunakan untuk
penamaan anak-anak mereka karena dianggap
ketinggalan zaman, akan sering kita dengar sebutan-nama-nama yang diambil dari budaya luar dibanding
budaya Sunda itu sendiri. Kondisi ini diperparah dengan ketidakjelasan strategi
dalam mengembangkan kebudayaan Sunda dari pihak pemerintah. Ketidakjelasan
strategi kebudayaan yang benar dan tahan uji dalam mengembangkan kebudayaan
Sunda tampak dari tidak adanya "ageuman sararea" yang lahir
dari suatu proses yang mengedepankan prinsip-prinsip keadilan tentang upaya
melestarikan dan mengembangkan secara lebih berkualitas kebudayaan Sunda, baik
oleh pemerintah maupun Masyarakat penggunanya itu sendiri.
Lemahnya
budaya baca, tulis, dan lisan ditengarai juga menjadi penyebab lemahnya daya
hidup dan mutu hidup kebudayaan Sunda. Lemahnya budaya baca telah menyebabkan
lemahnya budaya tulis. Lemahnya budaya tulis pada komunitas Sunda secara tidak
langsung merupakan representasi pula dari lemahnya budaya tulis dari bangsa
Indonesia. Fakta paling menonjol dari semua ini adalah minimnya karya-karya
tulis tentang kebudayaan Sunda ataupun karya tulis yang ditulis oleh orang
Sunda.
Sumber: https://tatrck.com/q69w38pm50
Secara
umum awal mula tradisi lisan berkembang di wilayah Sunda (Sebagian besar bekas
wilayah Kerajaan Padjajaran) khususnya
di Indonesia adalah adanya bentuk interaksi secara lisan dalam suatu masyarakat
yang memiliki adat-istiadat atau tradisi, sehingga pada saat itu tradisi
kelisanan lebih daripada tradisi mendominasi keberaksaraan (literacy).
Adapun bentuk tradisi lisan yang berkembang dalam masyarakat pada saat itu terdiri
atas tiga bentuk tradisi lisan, yakni (1) tradisi lisan yang lisan, seperti bahasa
rakyat, ungkapan tradisional, pertanyaan tradisional, puisi rakyat, cerita
prosa rakyat, dan nyanyian rakyat; (2) tradisi lisan yang sebagian lisan,
seperti permainan rakyat, teater rakyat, tari rakyat, adat-istiadat, upacara,
dan pesta rakyat; (3) tradisi lisan yang bukan lisan terbagi menjadi dua
sub-kelompok, yakni yang material (arsitektur rakyat, kerajinan tangan rakyat,
makanan dan minuman rakyat, dan obat-obatan tradisional) dan yang bukan
material (gerak isyarat tradisional, bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat, dan
musik rakyat). Salah satu tradisi lisan yang sangat dekat dengan masyarakat
penuturnya adalah nyanyian rakyat atau dalam tradisi Sunda disebut ‘kakawihan’
adalah salah satu genre atau bentuk folklor yang terdiri dari kata-kata
dan lagu, yang beredar secara lisan di antara kolektif tertentu, berbentuk
tradisional, serta banyak mempunyai banyak varian berdasarkan eksistensi para penuturnya, maka
ketika para penutur itu meninggal, keberadaan tradisi lisan itu menjadi
terhambat. Keberadaan nyanyian rakyat sebagai salah satu bentuk dari tradisi
lisan pada saat ini mulai dikhawatirkan akan keberlangsungannya yang telah
diambang kepunahan. Misalnya, nyanyian permainan (play song) yang pada
masa lalu begitu populer digunakan anak-anak mengiringi permainan dalam mereka;
sekarang sudah jarang lagi terdengar.
Sumber:
https://www.adatnusantara.web.id/2017/08/adat-istiadat-suku-sunda-kebudayaan.html
Tradisi
lisan yang dimaksud adalah nyanyian rakyat, berupa lagu yang menjadi pengiring
dalam permainan tradisional anak-anak (kakawihan kaulinan barudak lembur)
pada masyarakat Sunda. Kaulinan barudak Sunda pada awalnya adalah jenis
permainan yang biasa dilakukan oleh barudak urang lembur atau kaulinan
di pedesaan. Dalam kaulinan tersebut terdapat lalaguan atau kakawihan
barudak yang merupakan bagian dari sastra rakyat. Adapun beberapa contoh
kakawihan kaulinan barudak lembur pada masyarakat Sunda yakni Ucang
Angge , Sur-ser, Tuk-tuk Brung, Pakaleng-kaleng Agung, dan Ambil ambilan.
Kesemua lagu tersebut memiliki irama gembira yang di dalamnya terdapat
kata-kata lucu. Kemudian, pada umumnya anak anak mempunyai cara dan gaya
tersendiri dalam melantunkan nyanyian-nyanyian tersebut, artinya anak-anak
mengetahui isi dan iramanya serta pada waktu kapan mereka dapat melantunkannya.
Berbagai jenis kebudayaan seperti kesenian tradisional asli Sunda, khususnya
seni Sunda buhun (kuno), seperti yang telah disampaikan di atas hampir
punah akibat banyak ditinggalkan masyarakatnya sendiri. Sebagai seni yang
menjadi kekayaan budaya lokal, seni Sunda buhun terus kehilangan
penerusnya akibat para pelaku seninya kurang mendapat tempat dan kurang
dihargai publik. Selain itu, seni Sunda buhun ini terdesak oleh seni pop
modern yang dianggap lebih menarik.
Sumber:
https://www.siklimis.com/2019/09/menilik-kebudayaan-sunda-di-kampung.html
Jadi,
apakah kita hanya berpangkutangan saja melihat “kepunahan” budaya Sunda,
mempelajari bahasa Sunda menjadi kategori belajar “Filologi” karena bahasa
Sunda sudah tidak lagi digunakan oleh penutur aslinya, atau “lalaguan”/”kakawihan”
menjadi penanda romantisme kita masa anak-anak yang takkan pernah kita dengar
lagi? Wallaohua’lam bi syawab.
** dikutif
dari berbagai sumber
terima kasih literasinya, karena literasi tersebut saya jadi lebih sadar akan kekayaan budaya kita sendiri dan lebih menjaga nya.
BalasHapusIlmu hr ini mantap yg bs di petik bermanfaat.(M.Farrel Aqil kelas XC)
BalasHapusKEREN BU
BalasHapusSekar xi ips 2 , terimakasih atas literasinya 🙏
BalasHapusHatur nuhun, literasina sae pisan🙏🏻
BalasHapussae pisan literasina hatur nuhun
BalasHapussae pisan literasi na, hatur nuhun
BalasHapushayu ah urang ngundang deui baraya
BalasHapus*nyunda
Hapusmaap typo
sae literals i na
BalasHapusmasyaallah literasi nu sae pisan kanggo siswa/i didieu, tiasa memotivasi
BalasHapusbagus sekali literasinya
BalasHapusSae pisan literasi na khusus na kanggo abi salaku orang sunda
BalasHapus