Senin, 29 April 2024

HUMANIORA

QUO VADIS BUDAYA SUNDA?

Oleh: Redaksi Literatsmansa

Perhatian!!!
membaca artikel ini dianjurkan sambil memutar video berikut !!!

Sumber: https://www.youtube.com/watch?v=KhvMusxejLo

Kebudayaan Sunda kini seperti sedang kehilangan ruhnya, kemampuan beradaptasi, kemampuan mobilitas, kemampuan tumbuh dan berkembang, serta kemampuan regenerasi.  Sebenarnya, kebudayaan Sunda termasuk kebudayaan suku salah bangsa satu di Indonesia yang berusia tua. Apabila dibandingkan dengan kebudayaan Jawa, kebudayaan Sunda sebenarnya termasuk kebudayaan yang berusia relatif lebih tua, terutama dalam hal pengenalan budaya tulis.  Kemampuan beradaptasi kebudayaan Sunda, terutama dalam merespon berbagai tantangan yang muncul, memperlihatkan tampilan yang kurang begitu menggembirakan. Bahkan, kebudayaan Sunda seperti tidak memiliki daya hidup apabila berhadapan dengan tantangan dari luar, sehingga tidak mengherankan bila banyak unsur kebudayaan Sunda yang tergeser oleh kebudayaan luar. 

Sumber: https://novianiwiandari24.blogspot.com/2017/05/budaya-sunda.html

Salah satu contoh adalah penggunaan Bahasa Sunda. Bahasa Sunda yang merupakan bahasa komunitas orang Sunda, di kalangan tertentu semakin jarang digunakan oleh pemiliknya sendiri, khususnya para generasi muda Sunda. Lebih memprihatinkan lagi, menggunakan bahasa Sunda dalam komunikasi sehari-hari terkadang diidentikkan dengan ´keterbelakangan’ atau kuno. Akibatnya, timbul rasa gengsi pada orang Sunda untuk menggunakan bahasa Sunda dalam pergaulannya sehari-hari.  Fenomena mamah muda (mahmud) yang cendrung lebih senang mengajarkan dan menggunakan bahasa Indonesia kepada para anaknya dibanding mengenalkan bahasa Sunda yang merupakan bahasa ibu bagi mereka. Penggunaan nama-nama “berbau” Sunda sudah jarang digunakan untuk penamaan anak-anak mereka karena dianggap  ketinggalan zaman, akan sering kita dengar sebutan-nama-nama  yang diambil dari budaya luar dibanding budaya Sunda itu sendiri. Kondisi ini diperparah dengan ketidakjelasan strategi dalam mengembangkan kebudayaan Sunda dari pihak pemerintah. Ketidakjelasan strategi kebudayaan yang benar dan tahan uji dalam mengembangkan kebudayaan Sunda tampak dari tidak adanya "ageuman sararea" yang lahir dari suatu proses yang mengedepankan prinsip-prinsip keadilan tentang upaya melestarikan dan mengembangkan secara lebih berkualitas kebudayaan Sunda, baik oleh pemerintah maupun Masyarakat penggunanya itu sendiri. 

Lemahnya budaya baca, tulis, dan lisan ditengarai juga menjadi penyebab lemahnya daya hidup dan mutu hidup kebudayaan Sunda. Lemahnya budaya baca telah menyebabkan lemahnya budaya tulis. Lemahnya budaya tulis pada komunitas Sunda secara tidak langsung merupakan representasi pula dari lemahnya budaya tulis dari bangsa Indonesia. Fakta paling menonjol dari semua ini adalah minimnya karya-karya tulis tentang kebudayaan Sunda ataupun karya tulis yang ditulis oleh orang Sunda.

Sumber: https://tatrck.com/q69w38pm50

Secara umum awal mula tradisi lisan berkembang di wilayah Sunda (Sebagian besar bekas wilayah Kerajaan Padjajaran)  khususnya di Indonesia adalah adanya bentuk interaksi secara lisan dalam suatu masyarakat yang memiliki adat-istiadat atau tradisi, sehingga pada saat itu tradisi kelisanan lebih daripada tradisi mendominasi keberaksaraan (literacy). Adapun bentuk tradisi lisan yang berkembang dalam masyarakat pada saat itu terdiri atas tiga bentuk tradisi lisan, yakni (1) tradisi lisan yang lisan, seperti bahasa rakyat, ungkapan tradisional, pertanyaan tradisional, puisi rakyat, cerita prosa rakyat, dan nyanyian rakyat; (2) tradisi lisan yang sebagian lisan, seperti permainan rakyat, teater rakyat, tari rakyat, adat-istiadat, upacara, dan pesta rakyat; (3) tradisi lisan yang bukan lisan terbagi menjadi dua sub-kelompok, yakni yang material (arsitektur rakyat, kerajinan tangan rakyat, makanan dan minuman rakyat, dan obat-obatan tradisional) dan yang bukan material (gerak isyarat tradisional, bunyi isyarat untuk komunikasi rakyat, dan musik rakyat). Salah satu tradisi lisan yang sangat dekat dengan masyarakat penuturnya adalah nyanyian rakyat atau dalam tradisi Sunda disebut ‘kakawihan’ adalah salah satu genre atau bentuk folklor yang terdiri dari kata-kata dan lagu, yang beredar secara lisan di antara kolektif tertentu, berbentuk tradisional, serta banyak mempunyai banyak varian  berdasarkan eksistensi para penuturnya, maka ketika para penutur itu meninggal, keberadaan tradisi lisan itu menjadi terhambat. Keberadaan nyanyian rakyat sebagai salah satu bentuk dari tradisi lisan pada saat ini mulai dikhawatirkan akan keberlangsungannya yang telah diambang kepunahan. Misalnya, nyanyian permainan (play song) yang pada masa lalu begitu populer digunakan anak-anak mengiringi permainan dalam mereka; sekarang sudah jarang lagi terdengar.


Sumber: https://www.adatnusantara.web.id/2017/08/adat-istiadat-suku-sunda-kebudayaan.html

Tradisi lisan yang dimaksud adalah nyanyian rakyat, berupa lagu yang menjadi pengiring dalam permainan tradisional anak-anak (kakawihan kaulinan barudak lembur) pada masyarakat Sunda. Kaulinan barudak Sunda pada awalnya adalah jenis permainan yang biasa dilakukan oleh barudak urang lembur atau kaulinan di pedesaan. Dalam kaulinan tersebut terdapat lalaguan atau kakawihan barudak yang merupakan bagian dari sastra rakyat. Adapun beberapa contoh kakawihan kaulinan barudak lembur pada masyarakat Sunda yakni Ucang Angge , Sur-ser, Tuk-tuk Brung, Pakaleng-kaleng Agung, dan Ambil ambilan. Kesemua lagu tersebut memiliki irama gembira yang di dalamnya terdapat kata-kata lucu. Kemudian, pada umumnya anak anak mempunyai cara dan gaya tersendiri dalam melantunkan nyanyian-nyanyian tersebut, artinya anak-anak mengetahui isi dan iramanya serta pada waktu kapan mereka dapat melantunkannya. Berbagai jenis kebudayaan seperti kesenian tradisional asli Sunda, khususnya seni Sunda buhun (kuno), seperti yang telah disampaikan di atas hampir punah akibat banyak ditinggalkan masyarakatnya sendiri. Sebagai seni yang menjadi kekayaan budaya lokal, seni Sunda buhun terus kehilangan penerusnya akibat para pelaku seninya kurang mendapat tempat dan kurang dihargai publik. Selain itu, seni Sunda buhun ini terdesak oleh seni pop modern yang dianggap lebih menarik. 

Sumber: https://www.siklimis.com/2019/09/menilik-kebudayaan-sunda-di-kampung.html

Jadi, apakah kita hanya berpangkutangan saja melihat “kepunahan” budaya Sunda, mempelajari bahasa Sunda menjadi kategori belajar “Filologi” karena bahasa Sunda sudah tidak lagi digunakan oleh penutur aslinya, atau “lalaguan”/”kakawihan” menjadi penanda romantisme kita masa anak-anak yang takkan pernah kita dengar lagi? Wallaohua’lam bi syawab.

** dikutif dari berbagai sumber

  

13 komentar:

  1. terima kasih literasinya, karena literasi tersebut saya jadi lebih sadar akan kekayaan budaya kita sendiri dan lebih menjaga nya.

    BalasHapus
  2. Ilmu hr ini mantap yg bs di petik bermanfaat.(M.Farrel Aqil kelas XC)

    BalasHapus
  3. Sekar xi ips 2 , terimakasih atas literasinya ๐Ÿ™

    BalasHapus
  4. Hatur nuhun, literasina sae pisan๐Ÿ™๐Ÿป

    BalasHapus
  5. sae pisan literasina hatur nuhun

    BalasHapus
  6. sae pisan literasi na, hatur nuhun

    BalasHapus
  7. hayu ah urang ngundang deui baraya

    BalasHapus
  8. masyaallah literasi nu sae pisan kanggo siswa/i didieu, tiasa memotivasi

    BalasHapus
  9. bagus sekali literasinya

    BalasHapus
  10. Sae pisan literasi na khusus na kanggo abi salaku orang sunda

    BalasHapus

SAINSTOLOGY

  FORENSIK, ILMU PENGGUNGKAP MISTERI KEJAHATAN Oleh: Redaksi Literatsmansa Ananda yang baik, Setiap terjadi peristiwa kejahatan yang men...