3 Pelajar SMP yang Mengakhiri Hidupnya dan Ledakan Di SMA
( Peringatan darurat untuk kita semua)
Oleh: Sagitia Rahman, S.Kom
*)
Komisi Perlindungan Anak Indonesia KPAI mencatat 25 anak di Indonesia bunuh diri sepanjang tahun 2025. Komisioner KPAI, Diyah puspitarini, menyebut Sebagian besar kasus bunuh diri itu dilatari oleh bullying atau perundungan, termasuk yang terjadi dilingkungan sekolah (Sumber : BBC News Indonesia)
Sumber: https://anaghcoar.sch.im/pages/index/view/id/2/Anti-Bullying%20Policy
Seorang
murid Perempuan di sukabumi berusia 14 tahun menulis surat terakhir sebelum
mengakhiri hidupnya. Dari surat tersebut, di duga kekerasan verbal menjadi
pemicunya. Dua murid laki-laki lainya disawahluntho, Sumatra Barat, juga
memilih jalan yang sama dengan alasan dugaan penolakan cinta dan lainya. Terbaru
sebuah ledakan terjadi di SMAN di Jakarta dan menyebabkan luka-luka. Penyebab
juga di duga berasal dari akumulasi trauma.
Sumber: https://www.ilctr.org/about-immigrants/ilc-publications-and-resources/understanding-immigrant-trauma/
Kita
sering menganggap bullying atau perundungan itu ditandai dengan kontak
fisik. Padahal kata-kata menyakiti dan sikap merendahkan sering meninggalkan
luka yang tak terlihat. Luka yang perlahan membuat anak merasa tak berdaya, dan
kadang memilih jalan instan untuk mengakhiri rasa sakitnya. Remaja sendiri
cenderung lebih mengandalkan bagian otak amygdala, yang membuat mereka merespon
masalah melalui perasaan, bukan logika. Saat remaja bereaksi dengan emosi, itu
bukan “drama”, tapi karena bagian otak yang bertugas mengambil Keputusan,
prefrontal cortex, belum berkembang sepenuhnya.

Sumber: https://ayph.org.uk/the-teacher-and-the-teenage-brain/
Membanding-bandingkan
ketangguhan kita dengan remaja masa kini juga gak valid, karena
tantangan mereka hadapi sebagai konsekuensi pesatnya kemajuan teknologi justru
lebih sulit :
rasa
cemas belebihan. Seperti yang dituli oleh Jonathan haidt dalam buku the
anxious generation. Lalu apa yang harus kita lakukan?
Sumber: https://rri.co.id/pontianak/kesehatan/855713/tips-mengatasi-rasa-cemas-yang-berlebihan
Sebagai orang tua, mari lebih hadir dan berfungsi. Pererat koneksi. Ketika anak menumpahkan perasaanya, dorongan untuk menasihati sering muncul tanpa sadar. Padahal, kadang yang mereka butuhkan hanya pelukan, bukan kata-kata. Sebagai pendidik, teman sebaya dan orang sekitar, kita perlu lebih peka dan berani untuk peduli. Tanda-tanda kecil sering muncul sebelum tragedy besar terjadi. Namun, butuh kerendahan hati untuk bertanya dan untuk tidak menganggap semuanya “biasa saja”.
Sumber: https://techthinkhub.co.id/jenis-koneksi-internet-mana-yang-tepat-untuk-anda/
TURUT BERDUKA CITA UNTUK SETIAP ANAK YANG PERNAH MERASA SENDIRIAN DALAM KESEDIHANNYA.
Semoga
kita para orang dewasa di sekitarnya, tak menunngu kehilangan untuk belajar
hadir lebih awal. Semoga kita tak Lelah untuk terus mengingatkan anak anak kita
yang rentan, bahwa mereka berharga dan punya tempat di mana mereka diterima dan
dicintai tanpa syarat.
*)
Guru Informatika di SMAN I Pangalengan. Pemerhati masalah Sosial Remaja
**)
dari berbagai sumber





Tidak ada komentar:
Posting Komentar