“Makna
Haji Mabrur"
oleh
H. Asep Rosadi, S.Ag *)
Haji mabrur ditandai dengan berbekasnya
makna simbol-simbol amalan yang dilaksanakan di Tanah Suci, sehingga
makna-makna tersebut terwujud dalam bentuk sikap dan tingkah laku sehari-hari.
"Pakaian biasa" ditanggalkan dan
"pakaian ihram" dikenakan. Pakaian dapat melahirkan perbedaan,
menggambarkan status sosial, di samping juga dapat menimbulkan pengaruh
psikologis.
Sumber: https://www.bumiqu.org/pakaian-ihram/
Menaggalkan pakaian biasa berarti
menanggalkan segala macam perbedaan dan menghapus keangkuhan yang ditimbulkan
oleh status sosial. Mengenakan pakaian ihram melambangkan persamaan derajat
kemanusiaan serta menimbulkan pengaruh psikologis bahwa yang seperti itulah dan
dalam keadaan demikianlah seseorang menghadap Tuhan pada saat kematiannya.
Bukankah ibadah haji adalah kehadiran memenuhi panggilan Tuhan?
Sumber: https://www.pusathajiumroh.id/pelajaran-yang-dapat-diambil-dari-ibadah-haji/
Apakah sekembalinya dari Tanah Suci, masih
ada keangkuhan di dalam jiwa? Masih terasa adanya perbedaan derajat
kemanusiaan? Masih ingin menang sendiri dan menindas orang lain? Kalau masih
ada maka Anda masih mengenakan pakaian biasa, belum menanggalkannya.
Ka'bah merupakan lambang dari wujud dan
Keesaan Allah, berthawaf di sekelilingnya melambangkan aktivitas manusia yang
tidak pernah terlepas dari-Nya. Ka'bah
bagaikan matahari yang menjadi pusat tata surya dan dikelilingi oleh
planet-planetnya. Apakah setelah berthawaf di sana, segala aktivitas masih
terikat oleh daya tarik pusat wujud ini, yaitu Tuhan Yang Mahaesa? Kalau tidak,
maka sang haji keluar dari orbitnya sehingga hajinya belum lagi mabrur.
Sumber: https://travel.detik.com/international-destination/d-2381210/kabah-titik-pusat-jutaan-jamaah-haji-sedunia
Sa'i yang arti harfiahnya usaha adalah
lambang dari usaha mencari kehidupan duniawi. Bukankah Hajar, ibu Ismail a.s.,
mondar-mandir di sana mencari air untuk putranya? Apakah sekembalinya dari sana
sang haji masih akan berpangku tangan menanti turunnya "hujan" dari langit atau akan berusaha dengan segala
daya melepaskan "dahaga" kehidupan? Apakah sekembalinya dari sana,
usaha yang dilakukan sebagaimana sa'i, yaitu berangkat dari Shafa yang arti
harfiahnya "kesucian dan ketegaran" dan berakhir di Marwah yang
artinya "ideal manusia, sikap menghargai, bermurah hati, dan
memaafkan". Kalau usaha masih berangkat dari kekotoran dan tidak bermuara
pada penghargaan dan kemurahan hati, maka jauh panggang dari api.
Sumber: https://bincangmuslimah.com/kajian/makna-di-balik-sai-dan-sunnah-sunnahnya-37451/
Arafah arti harfiahnya
"pengenalan". Ketika berada di sana, sang haji mengenal jati dirinya,
menyadari kesalahannya, bertekad tidak mengulanginya, serta menyadari pula
kebesaran dan keagungan Penciptanya. Apakah ketika kembali, pengenalan tersebut
masih berbekas, tekad masih membaja, dan kesadaran masih segar? Kalau tidak,
maka saya khawatir jika kita bertemu dengan Nasher Khosrow, penyair Persia, ia
akan berkata kepada kita seperti ucapannya kepada sahabatnya: "Wahai
sahabat, sesungguhnya engkau belum menunaikan ibadah haji. Sesungguhnya engkau
belum taat kepada Allah. Memang engkau telah pergi ke Makkah untuk mengunjungi
Ka'bah. Telah menghamburkan uang untuk membeli kekerasan padang pasir. Jika
engkau berniat melakukan ibadah haji sekali lagi berbuatlah seperti apa yang
kuajarkan ini.
*) Guru Mapel PABP di SMAN 1
Pangalengan, wirausahawan muda, Pengasuh MT.Al Fiqnik
**) dari beragam sumber
Tidak ada komentar:
Posting Komentar