SELAMAT MENGIKUTI KEGIATAN PROJEK PENGUATAN PROFIL PELAJAR PANCASILA (P5)...Belajar...Berlatih...Bekerja..Menuju Indonesia Sejahtera, Aman, Sentosa

Senin, 21 April 2025

bahaSABUdaya

 

MENGENAL MASALAH-MASALAH SOSIAL DI JEPANG

Oleh: Lia Nurfalah, S.Pd *)

 


Minasan konnichiwa…..pada kesempatan kali ini kita akan membahas beberapa isu dan masalah-masalah sosial yang terjadi di Jepang pada masa sekarang ini. Diantara masalah masalah tersebut adalah:

1.    Penurunan angka kelahiran dan peningkatan jumlah lansia (shoushikoreika)

Pernahkah minasan melihat video ataupun artikel yang menyatakan bahwa jumlah siswa yang ada di jepang mulai berkurang bahkan ada sekolah yang ditutup karena tidak ada siswanya? . Menurut salah satu dosen orang Jepang yang pernah berkunjung ke sekolah kita tercinta, di Jepang sekarang banyak sekolah sekolah yang digabung karena sedikit jumlah pendaftarnya. Hal ini disebabkan jumlah angka kelahirannya menurun dari tahun ke tahun sehingga jumlah penduduk usia mudanya berkurang. Salah satu faktor penyebabnya adalah orang jepang enggan mempunyai anak, meskipun pemerintah Jepang sendiri banyak memberikan tunjangan bagi ibu ibu yang sedang hamil. Mulai dari pemeriksaan kesehatan gratis setiap bulannya sampai dengan ibu tersebut melahirkan. Bahkan pada saat melahirkan sang ibu mendapatkan hadiah berupa uang dari rumah sakit ataupun dari pemerintah daerah setempat.

 

Sumber:

https://www.cnbcindonesia.com/news/20230729151052-4-458376/resesi-seks-di-depan-mata-satu-per-satu-sekolah-jepang-tutup

            Sekarang pertanyaannya kenapa orang Jepang tidak mau punya anak? Adakah yang bisa menjawab? Ya betul jawabannya adalah karena biaya hidup di Jepang itu sangat mahal. Jepang sendiri merupakan salah satu negara dengan biaya hidup yang sangat mahal. Jangankan untuk membiayai anak, untuk memenuhi kebutuhan sendiri saja cukup berat. Memang benar pendapatan perkapita di sana besar namun diimbangi juga dengan harga barang barang yang mahal. Orang Jepang sangat berbeda sekali pemikirannya dengan kita orang Indonesia. Kita mempunyai pandangan bahwa semakin banyak anak maka semakin banyak rezeki. Namun Jepang tidak berfikiran seperti itu. Mereka sangat realistis.

            Selain penurunan angka kelahiran, Jepang juga mengalami tantangan dengan bertambahnya jumlah lansia yang mana sudah tidak produktif dan jadi beban untuk perawatan kesehatannya serta pensiunnya. Dalam hal perawatan kesehatan, pemerintah Jepang membuat program program yang mana 50% salah satu sumber pendaannya dari Pajak.

 
Sumber:

https://www.suarasurabaya.net/kelanakota/2016/Jepang-Mengalami-Masalah-Membludaknya-Jumlah-Lansia/

             Ada yang memperkirakan penduduk Jepang akan punah seiring dengan berkurangnya angka kelahiran dan banyaknya jumlah lansia yang tidak produktif. Diperkirakan yang akan memajukan negara Jepang adalah orang luar Jepang. Untuk saat ini Jepang sangat banyak membutuhkan tenaga kerja. Hal ini bisa menjadi peluang untuk orang Indonesia yang mau bekerja di sana. Namun meskipun sangat membutuhkan tenaga kerja dari luar, negara Jepang sangat selektif dalam mendatangkan tenaga kerja dari luar. Selain kemampuan bahasa, bagi yang mau berkarir di Jepang harus mempunyai kemampuan khusus dalam bidang bidang tertentu. Misalnya dalam bidang pertanian, peternakan maupun Industri. Sekarang banyak sekali LPK yang menawarkan untuk bekerja di jepang. Bagi yang berminat silahkan untuk mempersiapkan segala sesuatunya dari sekarang, baik materi, fisik maupun kemampuan Bahasa Jepangnya.

2.    Hikikomori

Kata hikikomori terdiri dari dua suku kata hiki yang berarti menarik, komori yang berarti kerumunan. Secara harpiah berarti menarik diri dari kerumunan. Gambarannya adalah orang orang mengasingkan diri selama berbulan bulan bahkan bertahun tahun. Banyak orang yang menganggap mereka sebagai introvert ekstrim, padahal hikikomori bisa melibatkan masalah psikologis yang jauh lebih dalam, seperti kecemasan, depresi, atau gangguan sosial. Fenomena ini pertama kali ditemukan di Jepang pada tahun 1990-an. Namun belakangan, fenomena ini mulai terdeteksi di negara-negara lain, termasuk di Indonesia. Hikikomori sering kali dihubungkan dengan tekanan sosial yang tinggi, masalah keluarga, atau bahkan kegagalan akademik yang membuat seseorang merasa terisolasi.

 
Sumber: https://id.theasianparent.com/hikikomori-adalah

Orang yang mengalami hikikomori biasanya berhenti bersekolah atau bekerja, membatasi interaksi dengan orang lain, bahkan anggota keluarga, dan menghabiskan sebagian besar waktu mereka di kamar.

Hikikomori dialami oleh semua kalangan baik kaum muda maupun kaum tua.

Sumber:

https://www.tv-tokyo.co.jp/plus/entertainment/entry/2019/020715.html

Penyebab hikikomori sangat beragam, mulai dari faktor lingkungan sekolah (bullying, tuntutan kademik), faktor keluarga (hubungan yang terlalu erat, tuntutan orang tua), hingga faktor sosial (media sosial, isolasi sosial).

Dilansir dari rri.co.id berikut dampak negatif dari hikikomori.

a.     Kesehatan mental yang memburuk : semakin lama seseorang mengisolasi diri, semakin besar kemungkinan ia mengalami gangguan mental yang lebih parah.

b.     Kehilangan kemampuan sosial yakni hilangnya kemapuan untuk berinteraksi dengan orang lain.

c.     Keterasingan dalam masyarakat : orang yang terisolasi secara sosial cenderung merasa tidak ada koneksi dengan dunia luar, bahkan mungkin merasa seperti “orang asing” di dalam masyarakat mereka sendiri.

Berikut adalah hal hal yang bisa dilakukan dalam menghadapi fenomena ini

a.     Konsultasi dengan Profesional Kesehatan Mental:

·         Membawa orang yang mengalami hikikomori ke psikolog atau psikiater untuk pemeriksaan dan diagnosis yang tepat.

·         Ikuti terapi yang direkomendasikan, yang bisa berupa terapi individu, kelompok, atau keluarga.

·         Jika diperlukan, konsultasikan dengan dokter tentang penggunaan obat-obatan yang dapat membantu mengatasi gejala yang menyertai hikikomori, seperti depresi atau kecemasan.

b.     Dukungan Keluarga dan Lingkungan:

·         Anggota keluarga dapat hadir dalam sesi terapi, meskipun pasien tidak selalu berpartisipasi, untuk memahami kondisi dan belajar strategi komunikasi yang efektif.

·         Keluarga perlu memahami bahwa hikikomori bukanlah kondisi yang mudah disembuhkan dan membutuhkan waktu serta dukungan yang berkelanjutan.

·         Orang-orang terdekat dapat memberikan dukungan emosional dan mendorong individu untuk keluar dari isolasi secara bertahap.

·         Ciptakan lingkungan yang mendukung di rumah dan di lingkungan sekitar, misalnya dengan memberikan kesempatan untuk beraktivitas yang menyenangkan dan membangun rasa percaya diri.

c.     Mulai dari Hal Kecil:

·         Mulai dengan aktivitas yang sederhana dan nyaman, seperti keluar kamar beberapa kali sehari atau berjalan-jalan di pagi hari saat sepi.

·         Bertahap meningkatkan aktivitas sosial dan berinteraksi dengan orang lain secara bertahap.

·         Jelajahi lingkungan sekitar secara bertahap, yang dapat membantu mengurangi kecemasan dan meningkatkan kepercayaan diri.

Dari uraian di atas mudah mudahan minasan bisa mengambil hikmah maupun pelajaran yang bisa diaplikasikan dalam kehidupan sehari hari. Ijou desu…arigatou minasaaaan

 

*) Guru Mata Pelajaran Bahasa Jepang di SMAN 1 Pangalengan;  Praktisi bahasa dan budaya Jepang; pengalaman bekerja di perusahaan Jepang di Indonesia

**) disarikan dari berbagai sumber

13 komentar:

  1. sEm4nGaT pAgi SalAm baHaGia unTUk kiTa SemUa🤭🥰🥰

    BalasHapus
  2. terimakasih atas ilmunya hari ini ibuuu
    XJ

    BalasHapus
  3. ilmunya sangat bermanfaat trimakasih

    BalasHapus
  4. 👍🏻👍🏻

    BalasHapus
  5. 👍🏻👍🏻 Ananda Silvya (X.F)

    BalasHapus
  6. 👍🏼👍🏼👍🏼

    BalasHapus
  7. Dini Rianti R X-F22 April 2025 pukul 07.44

    👍🏻👍🏻

    BalasHapus
  8. xd hadir juga, makasih

    BalasHapus
  9. terimakasih atas ilmunya ibu 💗💗💗

    BalasHapus
  10. Mantapp👍👍👍

    BalasHapus
  11. Terimakasih bu

    BalasHapus

CERPEN

  Maaf   Sumber:  https://id.pinterest.com/aienahaikal/gambar/ Sebenarnya ada rasa menyesal menyelimuti hatiku, apalagi saat kukenang masa...