TUKANG KIRIDIT MODEL ETNOPRENEUR “ALA” TASIKMALAYA
Oleh: Literatsmansa
Gambar:Masjid Agung Kota Ambon Maluku (Dok. Pribadi)
Satu
dari sekian banyak sebutan yang melekat pada Tasik (Tasikmalaya) adalah dikenal
sebagai daerah asal Tukang Kiridit atau tukang kredit. Ini adalah
sebutan untuk pedagang keliling yang menjual berbagai barang kebutuhan dengan
cara dicicil. Dari Tasikmalaya, tukang kiridit menyebar hampir ke
seluruh kota-kota di Indonesia. Mereka gigih mengais rejeki di perantauan. Pola
pembayaran yang bisa dicicil dianggap membantu masyarakat atau konsumennya yang
mayoritas kalangan menengah ke bawah.
Sumber:https://www.kompasiana.com/irwanrinaldi/61a45d838ab1f1292117be62/gara-kredit-panc
Bagi
Tasikmalaya sendiri eksistensi tukang kiridit ini menjadi salah satu
penopang pertumbuhan ekonomi. Cuan yang diraup tukang kiridit di
perantauan, tentu saja dibawa pulang dan dibelanjakan di Tasikmalaya. Banyak
mereka yang sukses kemudian disebut sebagai bos kiridit. Dapat
dipastikan kondisi itu memberi dampak positif bagi perekonomian Tasikmalaya. Namun
demikian masa kejayaan itu kini telah pudar. Perkembangan zaman dan kemajuan
teknologi telah menggerus sektor usaha informal yang sempat membuat Tasikmalaya
menasional. Penjualan barang secara online membuat tukang kiridit
semakin sulit bertahan, apalagi beberapa aplikasi juga menyediakan fitur
penjualan kredit atau penjualan dengan pembayaran dicicil.
Dalam
makalah berjudul "Tradisi Merantau Tukang Kiridit Dari
Tasikmalaya" tahun 2007 yang ditulis Didin Saripudin dari Universitas
Pendidikan Indonesia disebutkan keberadaan tukang kiridit di Tasikmalaya
tidak bisa dipastikan secara akurat kapan mulai berkembang. Tapi paling tidak,
hasil penelitian Sutjipto (1985) dan Saripudin (2003) berdasarkan sumber-sumber
lisan, menunjukkan dua versi asal-usul tukang kiridit di Tasikmalaya.
Sumber:
Yang
pertama, kemunculan tukang kiridit ditengarai terinspirasi oleh tukang
mindring dari Cina yang muncul di tanah air termasuk tatar Sunda sekitar
tahun 1920. Tukang mindring merupakan pedagang keliling warga Cina Perantauan
yang menjajakan barang dagangan seperti baju, kain dan kebutuhan rumah tangga
lainnya. Selain pembayaran tunai, mereka juga menjual dengan cara diangsur
harian atau mingguan.
Sumber:
Selanjutnya
aktivitas usaha para pedagang Cina ini berkembang. Banyak dari mereka yang
memilih berdagang menetap atau membuka toko. Pada saat pengaruh Cina mindring
ini mulai kendor karena mereka membuka aktivitas ekonomi yang lebih menetap dan
stabil di kota-kota, munculah tukang gendong, yaitu orang Tasikmalaya yang
menggantikan cara mindring itu. Mereka berkeliling dari kampung ke kampung
dengan membungkus barang dagangan dengan kain berukuran lebar, semacam taplak
meja. Karena itulah mereka terkenal dengan julukan tukang gendong. Gejala
seperti ini masih terlihat sampai sekitar tahun 1940-an hingga munculnya
istilah tukang kiridit.
Versi
kedua terkait asal usul tukang kiridit yang diawali dari para santri asal Tasikmalaya yang belajar di pesantren-pesantren
di Jawa Timur dan Jawa Tengah. Untuk bekal hidup selain mereka membawa uang
juga mereka membawa barang-barang, terutama barang-barang yang dihasilkan dari
Tasikmalaya seperti kain, sandal dan aneka kerajinan yang lain. Sebagaimana
diketahui, sejak dulu Tasikmalaya dikenal dengan hasil produksi kerajinannya. Dengan
cara ini konsumen merasa diuntungkan karena dapat membayar dengan cara cicilan
dan para santri juga untung karena dengan pembayaran semacam ini dapat
memanjangkan biaya hidup mereka semasa mondok. Apabila bekal mereka sudah habis
mereka pun pulang ke Tasikmalaya untuk mengambil kembali barang-barang yang
dapat dikreditkan.
Pola marketing
yang mulai digandrungi sebagai ladang usaha itu kemudian "meledak"
ketika wilayah Tasikmalaya dan sekitarnya tidak kondusif akibat muncul
pemberontakan DI/TII (Darul Islam/Tentara Islam Indonesia) pimpinan
Kartosuwiryo di dekade 1950-an (tanya ke Pa Pepi, Pa Rifki, atau Bu Widi untuk jelasnya). Suasana kampung halaman yang dapat dikatakan
tidak aman disinyalir mendorong urbanisasi masyarakat Tasikmalaya ke kota-kota
di Jawa Barat dan Jakarta. Mereka yang memutuskan "nyaba ka kota"
banyak yang memiliki menekuni usaha tukang kiridit. "Peristiwa
inilah yang diperkirakan selanjutnya banyak memberikan pengaruh besar dan daya
dorong mobilitas para tukang kiridit. Mereka tersebar mula-mula ke
kota-kota yang aman di Jawa Barat dan Jakarta. Jiwa petualangan dan benih
keinginan berprestasi dalam bidang ekonomi yang secara kultural tertanam pada
orang Tasikmalaya yang mendorong mereka melakukan mobilitas ke luar Jawa Barat
bahkan ke luar Pulau Jawa. Komoditas barang dagangannya beragam, tidak hanya
kerajinan atau kebutuhan sandang saja, bahkan sampai minyak kelapa pun dijual
dengan cara kredit. Ini tentu saja berkaitan dengan daya beli masyarakat pada
masa itu.
Semangat
petualangan serta benih keinginan berprestasi dalam bidang ekonomi yang secara
kultural tertanam pada suatu komunitas dan menjadi “brand image”
komunitas itulah yang kita kenal sebagai Etnopreneur. Ananda pasti
mengenal “Rumah Makan Padang, Warung Nasi Tegal atau Warteg, Sate Madura, BRI (Bubur
kacang, Rokok, Indomie) Kuningan, muncul pula sekarang "Warung Madura" saingan Alfamart dan Indomaret, dll. yang Ketika mendengarnya,
langsung lekat dengan daerah atau komunitas tertentu lengkap dengan
pernak-pernik cerita kesusksesan dan cucuran air mata dalam mengembangkan jiwa kerwirausahaan
(entrepreneurship) mereka di perantauan….Hebat ya..ternyata selain terkenal
sebagai Pelaut ulung, bangsa kita juga mempunyai semangat entrepreneur yang
ruaaarrr biasa!!! Setujukah? Komen ya!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar