"Manfaat
Psikologis Berpuasa Selama Ramadhan"
Oleh:
Dini Siti Nurjanah, S.Kom.I., S.Pd *)
Kita
dapat memperoleh manfaat positif dengan berpuasa, yaitu manfaat secara fisik
dan manfaat psikologis berpuasa. Manfaat berpuasa bagi kondisi fisik yaitu:
dapat membantu memperbaiki kondisi medis, menyehatkan jantung, mengurangi
risiko kanker, dan menjaga berat badan. Namun hal ini tentunya harus diiringi
dengan pola makan yang sehat dan seimbang, asupan cairan yang cukup, dan
dilakukan saat kondisi tubuh tidak berisiko untuk menjalankan puasa. Contoh
kondisi yang berisiko untuk menjalankan puasa antara lain: memiliki tekanan
darah rendah, wanita hamil, diabetes, dll. Bila kita merasa memiliki kondisi
tersebut, maka sebaiknya kita berkonsultasi terlebih dahulu pada dokter.
Apa
Saja Manfaat Psikologis Berpuasa?
Manfaat
psikologis berpuasa di antaranya adalah:
1) Memperbaiki
suasana hati. Setelah berjam-jam berpuasa, tubuh kita akan memproduksi hormon
yang berkaitan dengan suasana hati kita. Hormon ini membuat kita memiliki
suasana hati yang positif, seperti perasaan bangga, perasaan memiliki kendali,
dan perasaan seakan-akan kita telah berhasil menyelesaikan suatu tugas yang
sulit.
2) Menurunkan
stress dan kecemasan. Saat berpuasa, otak memproduksi protein. Protein otak ini
memiliki efek yang mirip dengan efek obat-obatan anti-depressant, sehingga
derajat kecemasan, stress, dan depresi menurun.
3) Meningkatkan
atensi dan konsentrasi. Puasa dapat membantu mengatur kadar glukosa dalam
tubuh, sehingga kita menjadi lebih mudah dalam memusatkan (fokus) dan
mempertahankan (konsentrasi) perhatian dalam bekerja.
4) Meningkatkan
kemampuan ingatan. Dengan meningkatnya kemampuan atensi dan konsentrasi, maka
kemampuan daya ingat kita pun akan menjadi lebih baik.
5) Meningkatkan
kualitas tidur. Saat berpuasa, kita terbiasa untuk mengkondisikan jadwal tidur
malam agar dapat terbangun tepat waktu untuk sahur, sehingga kualitas dan
kuantitas tidur menjadi lebih baik dibandingkan dengan hari biasa.
6) Meningkatkan
kemampuan pengendalian diri (Self-control). Selama berpuasa kita
terlatih untuk menunda pemuasan segera dari rasa lapar dan haus, juga terlatih
untuk mengendalikan diri dari berprilaku negatif. (Afnida, 2024).
Sumber:
https://satupersen.net/blog/stres-saat-puasa-berpengaruh-kesehatan-mental
Setelah
mengetahui manfaat-manfaat berpuasa tersebut, sebaiknya kita tidak hanya
menjalankan puasa untuk menggugurkan kewajiban berpuasa. Selain diniatkan
berpuasa untuk beribadah, jadikan juga bulan Ramadan ini sebagai momen yang
tepat bagi kita untuk memperbaiki diri agar manfaat-manfaat berpuasa tersebut
bisa tercapai optimal. Berkaca dari pengalaman berpuasa dari bulan Ramadhan
sebelum-sebelumnya, kebanyakan dari kita merasa sukses dalam hal menahan lapar
dan haus, namun masih merasa gagal dalam hal perbaikan diri secara psikologis,
misalnya: masih merasa menjadi individu yang pendendam sehingga tiap kali
berinteraksi dengan orang tertentu menjadi merasa stress, masih menjadi
individu yang suka menunda-nunda pekerjaan meski saat berpuasa sudah diajarkan
bahwa lebih baik untuk melakukan kegiatan yang bermanfaat daripada kegiatan
yang sia-sia, masih menjadi pribadi yang suka bergosip, dll.
Manfaat
Psikologis Berpuasa: Maaf Memaafkan
Sebelum
mulai berpuasa, biasanya kita saling bermaaf-maafan kepada orang-orang yang
sering berinteraksi dengan kita dalam kehidupan sehari-hari. Saat lebaran pun
kita saling bermaaf-maafan. Namun, ada beberapa individu yang mungkin kesulitan
untuk memaafkan orang lain. Memaafkan seseorang memang tidak selamanya mudah
dan butuh proses. Padahal memaafkan
merupakan salah satu manfaat psikologis berpuasa. Ketika ada seseorang yang
menyakiti kita, normal bagi kita untuk merasa marah. Namun rasa marah itu akan
berkembang menjadi hal yang tidak sehat bagi kita bila kita terlalu terikat
dengan rasa marah tersebut. Memaafkan akan dirasa sebagai hal yang sangat sulit
jika kita memiliki miskonsepsi mengenai memaafkan. Oleh karena itu, kita
sebaiknya memahami bahwa:
1) Memaafkan
bukan berarti kita membenarkan tindakan orang lain tersebut terhadap kita.
2) Memaafkan
bukan berarti kita harus memberi tahu pada orang tersebut bahwa kita
memaafkannya.
3) Memaafkan
bukan berarti kita sudah tidak memiliki perasaan apapun terkait situasi yang
menyakitkan kita.
4) Memaafkan
bukan berarti semuanya kembali baik-baik saja seperti semula dan tidak ada hal
lain yang masih perlu diusahakan untuk diperbaiki.
5) Memaafkan
bukan berarti kita harus melupakan kejadian tersebut.
6) Memaafkan
bukan berarti kita harus terus melibatkan orang tersebut di dalam hidup kita.
7) Memaafkan
bukan berarti sesuatu yang kita lakukan untuk orang lain.
Sumber:
https://www.bisotisme.com/2022/04/manfaat-puasa-bagi-kesehatan-otak-menurut-ahli-diet.html
Memaafkan
adalah kita menerima kenyataan atas sesuatu yang telah terjadi namun tidak
terikat berlarut-larut dengan emosi negatif terkait situasi itu, menemukan cara
pandang yang baru terkait hal tersebut sehingga merasa lebih bahagia, dan
dilakukan untuk diri kita sendiri bukan demi orang lain. (Afnida, 2024).
Tips
Memaafkan Kesalahan Orang Lain
Untuk
memaafkan seseorang tentunya dibutuhkan kesediaan dari kita untuk memaafkan.
Agar dapat memaafkan demi mendapat manfaat psikologis berpuasa, langkah-langkah
untuk memaafkan yang bisa kita coba, yaitu:
1) Pikirkan
situasi yang pernah membuat kita marah. Terimalah kenyataan bahwa situasi
tersebut memang benar terjadi. Terimalah kenyataan bahwa kita memiliki perasaan
tertentu dan bertingkah laku tertentu ketika berespon terhadap situasi itu.
2) Akuilah
perkembangan positif yang kita dapatkan setelah mengalami hal tersebut dan
ternyata kita masih dapat bertahan hingga saat ini, misalnya: dari kejadian
tersebut kita menjadi lebih mengenal diri kita, lebih menyadari
kebutuhan-kebutuhan, serta mengenal keterbatasan kita.
3) Coba
pikirkan tentang orang yang membuat kita marah atau benci dengannya. Orang
tersebut sama seperti manusia lainnya, yaitu individu yang tidak sempurna.
Manusia cenderung untuk bertingkah laku tertentu dalam upaya memuaskan
kebutuhan. Saat orang tersebut berprilaku menyakiti hati kita, coba pahami
kebutuhan apa yang sebenarnya saat itu sedang ingin ia puaskan, mengapa cara
itu yang ia pilih?
4) Putuskanlah
apakah kita ingin memberitahu orang tersebut bahwa kita telah memaafkannya.
(Afnida, 2024).
Minta maaf saja tidak cukup, lakukan
perubahan pada diri sendiri. Selama menjalankan puasa, kita terlatih untuk
menyadari setiap pikiran, perasaan dan perilaku kita agar tidak melakukan
hal-hal yang mengurangi pahala puasa. Hal ini tentunya mempermudah kita untuk
melakukan introspeksi diri. Kita menjadi lebih menyadari bahwa terdapat
perilaku tertentu dari diri kita yang menyakiti perasaan orang lain atau justru
merugikan diri sendiri. Bila telah menyadari kesalahan kita, tentu hal
selanjutnya yang perlu kita lakukan adalah meminta maaf baik pada diri sendiri
maupun orang yang disakiti. Namun meminta maaf saja tentunya tidak cukup, kita
juga perlu menunjukkan perubahan perilaku menjadi lebih baik sebagai wujud
kesungguhan kita meminta maaf. Perubahan perilaku ini tentunya membutuhkan
kontrol diri dan komitmen dalam menjalankan perencanaan tingkah laku (action
plan).
Langkah
yang bisa dilakukan dalam membuat perencanaan tingkah laku, yaitu:
1) Buatlah
daftar tingkah laku yang ingin diubah berupa tujuan yang spesifik. Tuliskan
hal-hal yang Anda inginkan, bukan hal-hal yang tidak Anda inginkan. Misalnya:
daripada ‘saya tidak ingin stress lagi’, lebih baik Anda menuliskan ‘Saya ingin
menikmati hobi saya berkumpul bersama teman-teman lagi’.
2) Buatlah
daftar keuntungan dan kerugian bagi diri sendiri bila melakukan aksi/tindakan
terkait tujuan tersebut.
3) Tentukan
skala prioritas.
4) Tetapkan
tingkah laku-tingkah laku yang sebaiknya ditampilkan agar tujuan Misal:
“Tingkah laku apa saja yang nantinya menandakan bahwa Anda sudah tidak merasa
stress lagi? Apa yang biasanya dilakukan oleh orang-orang yang merasa bahagia?
Kegiatan apa saja yang biasanya Anda suka, namun saat ini Anda tidak suka?”
5) Definisikan
tingkat perubahannya. Untuk meningkatkan kesempatan keberhasilan Anda mencapai
tujuan, maka tetapkanlah tujuan yang memungkinkan untuk dicapai. Misal:
“Menurut Anda, seberapa sering normalnya orang-orang melakukan kegiatan yang
menyenangkan?”.
6) Buatlah
langkah perencanaan tindakan menjadi langkah-langkah yang kecil yang membantu
kita mencapai tujuan.
7) Evaluasi
secara teratur mengenai perilaku yang telah berhasil berubah. Bila belum ada
perubahan, coba cari tahu penyebabnya atau hambatannya dan lakukan modifikasi (Afnida,
2024).
**
Disarikan dari berbagai sumber
*)
Guru Layanan Konseling di SMA Negeri 1
Pangalengan, Ibu rumah tangga pemerhati masalah social Kemasyarakatan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar