Selasa, 07 Mei 2024

THINK GLOBALY, ACT LOCALY

 TARAWANGSA DI MATA ORANG SUNDA

Oleh : Rinie Mutia Widaningsih, S. Pd *)

 


Indonesia merupakan salah satu negara yang agraris, memiliki luas lautan dan daratan yang kaya dan tak terelakkan begitupun  dengan lahan untuk pertanian yang sangat potensial. Masyarakat Tatar Pasundan dari zaman dahulu memiliki kebiasaan dalam hal bercocok tanam. Salah satunya adalah menanam padi dan berhuma. Bagi masyarakat Sunda, padi sendiri sarat akan makna, bukan hanya sebagai bahan makanan pokok, melainkan terpatri istilah “Acining manusa”, yang artinya salah satu sari manusia.    Masyarakat Sunda memiliki kepercayaan atau tradisi yang sangat beragam. Salah satunya kepercayaan mereka dalam penghormatan kepada leluhur. Dalam mitologi Jawa Kuno, padi disimbolkan sebagai Dewi Sri atau Pwahaci Sang Hyang Asri. Bukan hanya di Jawa, kepercayaan ini juga dianut oleh masyarakat Sunda dan Bali. Pada proses penanaman padi, masyarakat Tatar Sunda maupun Jawa memiliki adat tradisi yang berbeda-beda.

Dewi Sri dilambangkan sebagai simbol pembawa rezeki dan sosok yang sangat dihormati oleh masyarakat adat Tatar Sunda. Dala proses penanaman padi masyarakat menggunakan prinsip “Mipit amit ngala menta” artinya jika kita ingin mengambil hasil atau memanen, kita harus menyampaikan izin kepada “Sang Pencipta”, salah satunya dengan ritual “mitembeyan” dan juga panen padi atau ”dibuat”. Banyak sekali nilai-nilai filosofi yang terkadung di dalam proses penanaman padi, salah satunya dalam “tandur” (tanam mundur), proses ini melambangkan kerendahan hati, ataupun dalam “dibuat”, pada proses ini masyarakat Sunda menggunakan alat bertani yang disebut “etem” (ani) dengan cara dipotong satu helai-satu helai secara hati-hati. Artinya, kita harus merawat si tanaman padi itu layaknya kepada seorang perempuan dan penghormatan kepada Sang Dewi Sri tersebut.


Menanam padi merupakan proses yang panjang dan melelahkan, mulai dari mengolah sawah, penanaman bibit hingga memanen. Semua membutuhkan kerja keras dan ketekunan. Filosofi ini mengingatkan kita bahwa kesuksesan dengan mudah, dibutuhkan usaha, dedikasi dan pengorbanan untuk mencapai tujuan, seperti padi yang tumbuh subur setelah melewati berbagai rintangan. Manusiapun harus gigih dalam menghadapi tantangan.

Dalam kebiasaan ini, masyarakat Sunda tidak lepas dari keunikan mereka dalam hal kreatifitas dan sinergi alam yang mereka kaitkan berupa seni dan tradisi. Salah satunya dalam bentuk pertunjukan musik Tarawangsa sebagai ungkapan rasa syukur dan penghormatan kepada Dewi Padi. Apa itu Seni Tarawangsa? Tarawangsa adalah ensemble kordofon (alat musik dawai yang sumber bunyinya berupa ruang resonator) dua alat musik. Yang satu dinamakan tarawangsa itu sendiri, dimainkan dengan cara digesek dan yang satunya dinamakan jentreng dimainkan dengan cara dipetik. Kata tarawangsa juga termuat dalam kitab-kitab kuno abad ke-10 yang ditemukan di Bali. Kata tarawangsa dapat ditemukan dalam literatur tersebut dengan kata lain “trewasa” dan “trewangsah”. Bahkan pada masa itu kesenian ini sudah hidup pada masyarakat Sunda, Jawa dan Bali.

Secara etimologi, Tarawangsa berasal dari tiga gabungan kata yakni Ta – Ra – Wangsa. Ta merupakan akronim dari kata ‘Meta’ berasal dari bahasa Sunda yang berarti pergerakan, lalu ‘Ra’ berarti api yang agung sama dengan arti Ra dalam bahasa Mesir analogi api yang agung adalah matahari. Dan yang terakhir ‘Wangsa’ sinonim dari kata Bangsa, manusia yang menempati satu wilayah dengan aturan yang mengikatnya. Jadi Ta-Ra-Wangsa memiliki arti kesenian penyambutan bagi hasil panen padi tumbuhan yang sangat bergantung pada matahari sebagai simbol rasa syukur. Dilihat dari segi fungsinya, seni Tarawangsa selalu dipertunjukan dalam siklus penanaman padi yang telah dijelaskan di atas, yang dalam masyarakat agraris tradisional selalu diidentikan dengan sosok Nyai Sri Pohaci/Nyi Pohaci Sanghyang Dangdayang Asri/Nyi Pwahaci Sang Hyang Asri, Dewi Asri (Dewi Sri) sebagai dewi padinya masyarakat Sunda.

Pertunjukan Tarawangsa di setiap wilayah memiliki perbedaan bentuk dan struktur. Ada beberapa wilayah penyebaran Tarawangsa, salah satunya Rancakalong, Garut, Tasikmalaya, Ciwidey, Banjaran dan Cikondang (Pangalengan). Pertunjukan Tarawangsa di wilayah Rancakalong, Garut, Ciwidey, Banjaran dan Cikondang tidak dilengkapi oleh vokal, hanya dua instrumen saja, yaitu jentreng dan tarawangsa, sedangkan seni Tarawangsa di wilayah Cibalong Tasikmalaya, dilengkapi dengan instrumen lainnya, seperti calung rantay. Pada era ini, kesenian Tarawangsa semakin terkikis oleh perkembangan zaman. Tarawangsa rata-rata dimainkan oleh orang tua lanjut usia, tidak ada salahnya kita selaku generasi muda mengenal, mempelajari juga melestarikan kekayaan tradisi dan budaya ini. Tarawangsa tidak boleh hanya menjadi dongeng pengantar tidur untuk anak-cucu kita nanti, tetapi jadikanlah Tarawangsa ini sebagai warisan leluhur yang patut dilestarikan dan menjadi kekayaan tradisi juga budaya bangsa Indonesia.

link youtube Rini tentang Tarawangsa : https://www.youtube.com/watch?v=glAWK0M3xCs&t=19s

** Dikutif dari berbagai sumber, sebagian foto koleksi pribadi 

*) Guru Bahasa Sunda di SMA Negeri 1 Pangalengan, penggiat budaya dan Tradisi Sunda

3 komentar:

  1. sekar xi ips 2 terimakasih atas literasinya

    BalasHapus
  2. terima kasih ilmu hr ini (M.Farrel Aqil kelas XC)

    BalasHapus

SAINSTOLOGY

  FORENSIK, ILMU PENGGUNGKAP MISTERI KEJAHATAN Oleh: Redaksi Literatsmansa Ananda yang baik, Setiap terjadi peristiwa kejahatan yang men...