Oleh:
Nia Komalaningsih, S.Pd *)
Sumber: https://kemenag.go.id/hikmah/ramadhan-dan-ambisi-ibadah-vVMwY
Ketika puasa hanya
dimaknai ritual lahiriah rutin semata, maka pembahasannya akan selesai manakala
pengertian puasa didefinisikan secara umum yakni bahwa puasa adalah menahan
diri dari makan, minum, dan segala hal yang membatalkan puasa, tidak lebih. Tujuan
akhir setiap menjalankan ibadah termasuk puasa Ramadhan adalah mendekatkan diri
kepada Allah SWT. Berupaya agar selama dan setelah menjalankan ibadah
berada pada posisi terjaga dari perbutan yang dilarang oleh syariat, dan
senantiasa dapat mewujudkan sikap dan perilaku sesuai dengan kaidah islamiyah.
Ini sesungguhnya yang diharapkan sebagaimana disebutkan dalam ayat
al-Qur’an, bahwa diwajibkan ibadah puasa itu pada
akhirnya agar dapat mencapai
derajat taqwa yang benar-benar bertaqwa (QS. Al-Baqarah:183). Ini dimaksudkan
ibadah puasa bisa menjadi media
untuk membentuk karakter
seseorang baik sikap individu maupun sosial.
Sumber: https://www.fakta.id/sosial-emile-durkheim/
Emile Durkheim, yang
dikenal dengan Bapak Sosiologi Modern lahir di Epinal Perancis pada 15 April
1858 mengatakan bahwa solidaritas sosial adalah perekat yang menyatukan
masyarakat. Ia mengidentifikasi dua jenis solidaritas sosial: solidaritas
mekanis dan solidaritas organik. Solidaritas mekanis didasarkan pada
kepercayaan, nilai, dan tradisi bersama, sedangkan solidaritas organik
didasarkan pada rasa saling ketergantungan dalam masyarakat modern. Dalam
konteks puasa Ramadhan, kita bisa melihat bahwa praktik tersebut sebagai
ekspresi solidaritas mekanis umat Islam. Kaum Muslimin di seluruh dunia
sama-sama memiliki keyakinan akan pentingnya puasa selama Ramadhan, dan
keyakinan bersama ini menciptakan rasa solidaritas dan tujuan bersama. Dengan
berpartisipasi dalam ibadah puasa di Bulan Ramadhan, umat Islam menegaskan
identitas kolektif mereka dan rasa memiliki sesama anggota komunitas Muslim.
Sumber: https://hidayatullah.com/kajian/oase-iman/2022/09/29/237486/tauhid-adalah-identitas-kita.html
Disamping itu,
Durkheim juga mengatakan bahwa ritual itu penting sekali. Ibadah atau ritual
memainkan peran penting dalam menciptakan dan memperkuat solidaritas sosial
tadi. Ritual dilihat sebagai tindakan simbolis yang mencerminkan dan memperkuat
nilai dan kepercayaan bersama. Apalagi praktik ibadah yang dilakukan
bersama-sama dapat menghadirkan rasa identitas kolektif dan memberi individu
rasa memiliki. Dalam konteks puasa umat Islam Indonesia, kita melihat praktik
berbuka puasa sebagai ritual yang mempererat solidaritas sosial itu. Dengan
berbuka puasa bersama, umat Islam menegaskan identitas kolektif mereka dan rasa
memiliki sebagai sesama bagian dari komunitas Muslim. Buka puasa bersama ini
juga menciptakan rasa hubungan emosional dan memberi individu rasa senang dan
hormat kepada sesuatu yang sakral. Sebagaimana yang dikatakan Durkheim, ritual
dapat menghadirkan perasaan emosional yang mendalam pada individu. Dengan
berpartisipasi dalam ritual, seorang individu mengalami rasa kagum terhadap
yang suci. Pengalaman emosional seperti ini pada gilirannya akan memperkuat
komitmen mereka terhadap nilai dan keyakinan bersama, menciptakan rasa
kewajiban dan kewajiban moral.
Sumber: https://terasmedia.net/membangun-moralitas-remaja-sebagai-upaya-memperkuat-karakter-anak-bangsa/
Dilihat dari berbagai
aspeknya, ibadah puasa selama Ramadhan merupakan praktik yang tidak mudah, dan
itu membutuhkan disiplin diri dan komitmen yang signifikan. Dengan
berpartisipasi dalam praktik ini, individu kemudian terdorong untuk memperkuat
komitmen mereka terhadap nilai dan kepercayaan yang dianut bersama. Maka
sekecil apapun tindakan/perbuatan kita akan berakibat makro terhadap kondisi
orang (masyarakat) sekitar kita.
Sumber: https://www.sosiologi79.com/2017/05/materi-ujian-nasional-kompetensi-gejala.html
Tujuan utama Ramadhan
adalah ketaqwaan (agar kamu bertakwa). Bertaqwa adalah kata kerja yang
menyerukan dan mengharuskan melakukuakan perbuatan “taqwa”. Menurut Ali bin abi
Thalib Radiallahuanhu memberikan definisi taqwa yang lebih rinci, Beliau
berkata : التقوى هي الخوف من الجليل و العمل بالتنزيل
والرضا بالقليل و الإستعداد ليوم الرحيل (Taqwa adalah takut
kepada Allah, beramal sesuai yang diturunkan (Al-Qur’an dan As-sunnah),
menerima dengan yang sedikit dan selalu senantiasa bersiap-siap menempuh
untuk hari perjalanan menghadap Allah}.
Dari pendapat Sayyidian Ali RA, tersebut ada 2 perlakuan taqwa yaitu pertama
beramal sesuai dengan Al-Qur’an dan As-sunnah dan kedua adalah perlakuan
persiapan untuk menjemput ajal.
Dalam kegiatan
perilaku ibadah Ramadan yang kita lakukan sehari hari ada banyak kegiatan
ketaqwaan yang secara tidak terasa kita lakukan dan juga kita indakan (tidak
kita pedulikan). Kita melakukan berbuka puasa dengan kecukupan disisi lain kita
tidak tahu (dan mungkin tidak mau tahu) bahwa saudara kita, tetangga kita yang juga sedang berpuasa belum
bisa berbuka atau dengan berbuka nasi dan garam saja. Kita melakukan teraweh
dengan khusu beramai ramai di musholla dan masjid, tapi ada saudara, teman kita
yang tidak bisa melakukan teraweh karena tidak punya pakaian yang pantas untuk
di bawah sholat berjamaah. Ini seakan arti kesholehan kita “ambigu” terhadap
“ketolehan” orang lain.
Sumber: https://www.instagram.com/subway.indonesia/p/DGo1jNWBG2K/
Semoga ibadah Puasa
Ramadhan kita tahun ini tidak hanya memiliki dimensi spiritual saja, akan
tetapi juga memiliki Dimensi Sosial yang sangat penting bagi umat Muslim.
Akhirnya penulis mengucapkan Marhaban Yaa Ramadhan 1446 H / 2025 M semoga
ibadah kita selama Ramadhan diterima Allah SWT, Aamiin YRA.
*) Guru Mapel
Sosiologi di SMAN 1 Pangalengan, Ibu rumah tangga pemerhati masalah sosial dan
remaja
**) dari berbagai
sumber
Terimakasih ibu, sangat bermanfaat
BalasHapus👍👍👍👍👍
BalasHapus👌👌👌👌👌
BalasHapus