Untuk Ananda
Pintu itu masih tegak,
kaku dan terdiam, Menyimpan sisa tawa yang kini jadi kelam. Kau pergi begitu
saja, Ananda, tanpa isyarat, Hanya menyisakan sepi yang amat sangat. Bahkan
sarapan pagimu tak sempat kau sentuh, Kini, kursi itu kosong, membusuk tanpa
kukuh.
Di laci mejamu, masih
tersimpan buku bergambar, Juga bola kecil yang dulu kita lempar. Semua benda
ini menjeritkan namamu lirih, Menanyakan mengapa tak ada kata pamit terucap.
Sebuah kalimat maaf, hanya sebait doa, Tak sempat kau berikan, sebelum kau tiada.
Jantungku berdebar tak
menentu, dihempas badai, Mencari-cari jejak di setiap sudut lorong damai. Kau
tak akan kembali, itu kenyataan yang pahit, Beban yang harus kupanggul, amat
sangat menjepit. Andai waktu bisa diputar, sebentar saja, Ananda, Kan
kubisikkan betapa ayahanda bangga, dan tak ingin kau terperanjak.
Malam ini rembulan
hanya separuh, muram, Seperti hatiku yang koyak, menanggung dendam. Bukan
dendam pada takdir, tapi pada kealpaan, Mengapa pelukan terakhir tak jadi
kuwujudkan? Kau lari Ananda, entah ke mana, Dan hanya kenangan yang
kini berharga.
Ayahanda berdiri di
sini, di bawah langit yang sama, Menanti, meski tahu kau takkan pernah tiba.
Selamat jalan, malaikat kecilku yang terkasih, Meski tanpa maaf dan pamit,
cinta ini takkan habis. Biarlah air mata ini yang jadi perpisahan, Mendoakanmu
damai di keabadian.
#Medio november 2025


Tidak ada komentar:
Posting Komentar