"Suara
Hati dan Kebebasan Berpikir"
Oleh:
Hj. Ani Haelani, SS., M.Pd., MIL *)
Kita akan bisa menemukan benang merah
antara nilai-nilai yang terkandung dalam QS Yunus ayat 43 dan pendapat Albert
Einstein tentang pentingnya berpikir secara mandiri.
QS
Yunus ayat 43:
“Dan
di antara mereka ada orang yang memandangmu. Padahal Kami tidak menjadikan mata
hati mereka dapat memahami, dan tidak pula menjadikan telinga mereka dapat
mendengar. Mereka itu seperti binatang ternak, bahkan lebih sesat lagi. Mereka
itulah orang-orang yang lalai.”
(QS
Yunus: 43).
Makna utama:
Ayat ini menggambarkan bahwa sebagian
orang melihat secara fisik, namun mata hatinya buta — tidak mampu menangkap
kebenaran. Ini adalah bentuk kritik terhadap kelalaian berpikir dan
ketertutupan hati, di mana manusia diberi potensi akal dan nurani, namun tidak
menggunakannya untuk memahami kebenaran.
Pendapat
Albert Einstein:
"Setiap orang yang terlalu banyak
membaca dan terlalu sedikit menggunakan otaknya sendiri akan malas
berpikir." — Albert Einstein.
Sumber: ttps://www.topbusiness.id/96432/disebut-einstein-keajaiban-dunia-ini
Makna
utama:
Einstein menekankan pentingnya berpikir
kritis dan mandiri. Bacaan (informasi) memang penting, tetapi jika tidak
diimbangi dengan penggunaan akal secara aktif, maka manusia menjadi pasif dan
kehilangan daya nalar. Ini kritik terhadap sikap menelan mentah-mentah
informasi tanpa merenung atau mengujinya.
Keterkaitan Keduanya:
Baik QS Yunus ayat 43 maupun pendapat
Einstein sama-sama menyoroti bahaya sikap pasif dalam berpikir:
Dalam
QS Yunus 43: Mengkritik manusia yang tidak menggunakan hati dan akalnya untuk
memahami. Albert Einstein: Mengkritik orang yang hanya menyerap informasi tanpa
berpikir kritis.
QS
Yunus 43: Menunjukkan degradasi moral dan spiritual akibat kelalaian berpikir.
Albert Einstein: Menunjukkan kemunduran intelektual akibat kemalasan berpikir.
QS
Yunus 43: Ajakannya: gunakan akal dan hati nurani. Albert Einstein: Ajakannya:
gunakan nalar pribadi.
Contoh
Premis yang menggunakan "akal dan hati nurani":
"Membantu
sesama yang sedang kesusahan adalah kewajiban moral karena itu merupakan bentuk
empati dan nilai kemanusiaan yang dijunjung tinggi oleh nurani dan akal sehat
manusia."
Penjelasan:
Premis ini menggabungkan pertimbangan
logis (akal) dan perasaan moral batiniah (hati nurani) dalam menyimpulkan bahwa
membantu sesama adalah tindakan yang benar.
Contoh
Premis yang menggunakan "nalar pribadi":
"Saya
percaya bahwa bekerja keras tanpa mengharapkan hasil langsung adalah cara
terbaik mencapai kesuksesan, karena berdasarkan pengalaman saya, hasil yang
baik datang dari konsistensi, bukan kecepatan."
Penjelasan:
Premis ini lahir dari pengalaman pribadi
dan pemikiran mandiri (nalar pribadi), bukan nilai universal atau moral umum.
Ia bersifat subjektif dan reflektif terhadap pandangan individual.
Kebebasan berpikir bukanlah suatu hal yang
berbahaya apabila disinergikan dengan suara hati atau fitrah manusia yang
dilandasi dengan usaha mencari kebenaran demi kemaslahatan umat manusia. Dalam
perspektif syariat, kita mengenal istilah ijtihad, yaitu menggunakan potensi
akal secara sungguh-sungguh -- dengan bebrapa persyaratan tertentu -- untuk
mengatasi berbagai masalah kehidupan. Rasulullah Saw. menegaskan, "Bila
kita berijtihad dan benar, akan mendapat dua pahala; bila kita berijtihad dan
ternyata keliru, akan mendapat satu pahala" (HR. Abu Dawud dan
Al-Turmudzi).
Ijtihad dan kebebasan berpikir dapat
memunculkan inovasi-inovasi atau karya-karya yang segar juga orisinal yang
mampu mencerahkan kehidupan dan peradaban manusia. Akal merupakan anugerah
Allah SWT untuk manusia yang tak ternilai harganya.
Kebebasan Berpikir Tanpa Hati Nurani
Akal dan pikiran yang dianugerahkan Allah
SWT kepada manusia seharusnya bisa didayagunakan untuk menata kelangsungan
kehidupan manusia di dunia ini. Di sini, ada "ilmu" dan
"iman". Dengan ilmu dan iman, manusia mampu menebarkan kasih sayang,
membantu yang lemah, dan menjadi rahmat bagi alam semesta.
Sumber: https://klikmu.co/kemerdekaan-berpikir-pilar-utama-demokrasi-dan-kemanusiaan
Namun, ada bahayanya jika manusia hanya
menggunakan akal sembari mengabaikan suara hati, fitrah, dan iman. Inilah yang
disebut rasionalisme, yaitu paham yang mendewa-dewakan akal di atas segalanya.
Alih-alih memberi manfaat, kaum rasionalis justru bisa membahayakan kehidupan
dan peradaban manusia. Misalnya, hasil karya mereka digunakan untuk hal-hal
destruktif yang bisa menghancurkan kehidupan manusia itu sendiri. Akibatnya,
rusaklah tatanan peradaban dan kemanusiaan.
Sebagai contoh, penemuan bom atom dan
nuklir oleh para ilmuwan justru membahayakan kelangsungan hidup umat manusia.
Bom atom dan nuklir sering disalahgunakan manusia untuk saling menghancurkan
sesamanya melalui perang. Bukankah dua kota di Jepang, yaitu Nagasaki dan
Hirosima, pernah luluh lantak oleh keganasan bom atom? Bukankah sudah banyak
umat manusia yang menjadi korban keganasan reaktor nuklir dan senjata nuklir?
Bukankah nuklir bisa didayagunakan menjadi senjata pemusnah massal yang
mengerikan? Sekali tekan tombol, jutaan umat manusia bisa meninggal dalam waktu
sekejap! Inilah paradoks manusia modern, dunia modern, dan kemodernan. Karena
hanya menggunakan akal tanpa iman, manusia modern semakin terasing dari dirinya
sendiri. Lebih ironis lagi, manusia modern bisa mengancam kelangsungan hidup
dan peradabannya sendiri.
Mari kita simak pandangan kalangan
antirasionalis seperti diungkapkan Wordsword, seorang penyair, bahwa kondisi
hutan di musim semi bisa mengajari kita lebih banyak mengenai manusia,
kejahatan, dan kebaikan moral, daripada yang dapat diajarkan oleh para pemikir,
cendikiawan, dan sosok arif-bijaksana lainnya. Padukanlah ilmu (pengetahuan)
dan sebi secara menawan. Suara hati yang bening senantiasa inklusif, toleran,
dan menebar kedamaian. Akan lebih dahsyat lagi kalau suara hati berpadu dengan
rasio secara seimbang. Kalangan anti-rasionalis juga beranggapan bahwa emosi
lebih tinggi daripada pikiran, hati lebih mulia daripada kepala. Seperti kata
psikolog Freud, "Libido lebih baik daripada intelek".
Sumber: https://bestplanterindonesia.com/bagaimana-pikiran-bisa-mempengaruhi-perasaan-dan-emosi/
Kita layak mengapresiasi pandangan
kalangan antirasionalis tersebut. Namun, bukan berarti mereka beranggapan bahwa
alat pikir itu buruk atau akal itu jahat. Mereka hanya beranggapan bahwa rasio
itu lemah pada kebanyakan manusia di sebagian besar tempat dan waktu karena
tidak dilandasi oleh fitrah dan hati nurani. Sebenarnya akal tidak buruk atau
salah, tetapi manusialah yang menyalahgunakan hasil-hasil pemikiran dan
penemuan akal pikiran Apabila fitrah dan
kebebasan berpikir dapat bersinergi, akan lahirlah karya dan pemikiran luar
biasa yang mencerahkan kehidupan dan peradaban manusia.
Contoh kasus yang menyangkut soal
perpaduan kedua variabel tersebut -- rasio dan hati, serta kebebasan berpikir
dan fitrah -- bisa kita simak dari ilustrasi Ary Ginanjar Agustian sebagai
berikut:
Di Indonesia, bisnis air mineral atau air
putih yang dikemas dalam botol plastik saat ini begitu marak di mana-mana. Kini
sudah ada ratusan perusahaan yang bergerak di bidang ini. Pelopornya adalah
merek Aqua. Sebelum Aqua diluncurkan, semua orang saat itu tidak pernah
menyangka sama sekali bahwa air di dalam botol plastik akan menjadi bisnis
raksasa. Mengapa? Mereka, termasuk kita, sudah terbiasa minum air putih di
dalam gelas, bukan botol. Minum air di dalam botol tidak pernah terpikirkan.
Pikiran kita sudah terbelenggu oleh tradisi minum air di dalam gelas. Tanpa
kita sadari, kita ternyata: "tidak merdeka dalam berpikir dan dijajah oleh
belenggu tradisi." Walapun air putih selalu kita lihat sehari-hari, kita
tidak mampu melihat peluang bahwa orang seringkali membutuhkan air putih
sebagai pelepas dahaga di tengah perjalananan. Saat jutaan orang kesulitan
mencari air putih, kita tidak bisa melihat peluang raksasa ini, karena
"hati" dan "pikiran" kita tertutup oleh kebiasaan dan
tradisi.
Dampak Kebebasan Berpikir
Sekarang,
marilah kita mencoba melihat sejarah kebebasan berpikir beserta produk
dan pengaruhnya pada masa antara abad ke-8 dan ke-13 Masehi yang mengantarkan
umat Islam kepada kemajuan sains dan teknologi. Kita juga menengarai
terbentuknya peradaban dunia Barat pada abad ke-16 yang dikenal dengan
bangkitnya Renaisans, yaitu kelahiran kembali produk budaya Yunani dan Romawi.
Gerakan yang bernama Humanisme kemudian mengungkapkan kembali pemikiran-pemikiran Yunani kuno, seperti
pemikiran Aristoteles, Socrates, dan lain-lain. Pengungkapan kembali pemikiran
Yunani dan Romawi oleh para penganut Humanisme Barat dapat dijembatani akibat
persentuhan Eropa Barat dengan budaya Islam yang pada Abad Pertengahan justru
telah berkembang dengan megah dan memasuki Eropa Barat melalui Spanyol.

Sumber: ttps://bulir.id/humanisme-posthumanisme-dan-transhumanisme
Kemajuan peradaban Islam pada masa itu
dapat kita lihat dari berkembangnya peradaban budaya di Bagdad, Irak. Kisah
"Seribu Satu Malam", misalnya,
menggambarkan Kota Bagdad dengan jalan-jalannya yang lebar, bangunan-bangunan
gedungnya yang indah, lampu-lampu yang menyala di malam hari. Sementara pada
masa yang bersamaan, Eropa masih merupakan perkampungan-perkampungan yang
sangat sederhana. Demikian juga Amerika, masih merupakan perkampungan yang
becek, berlorong, dan tidak memiliki gedung dan bangunan yang indah dan megah.
Menurut Orientalis Inggris, David Braham
daam bukunya, "Bagdad in The Middle Ages", pada Abad
pertengahan, orang-orang Barat, khususnya dalam dari Kordoba, Spanyol,
berbondong-bondong ke Bagdad untuk menuntut ilmu pengetahuan. Oleh karena itu,
sangat tepat pernyataan Sejarahwan Mesir, Fahmi Abdel Wassil yang mengungkapkan
bahwa jika Makkah dan Madinah merupakan pusat spiritual umat Islam, Bagdad
dalam Abad Pertengahan pantas dijuluki sebagai pusat peradaban Islam karena
ilmu pengetahuannya berkembang sedemikian pesat.
Setelah Barat bersentuhan dengan
pemikiran-pemikiran dari dunia Islam, mulailah mereka mengenal
peradaban-peradaban maju yang dibangun oleh Mesopotamia, Babilonia, Mesir,
Yunani, Romawi, dan Cina. Peradaban Barat pun berkembang pesat, dan kebebasan
berpikir memperoleh ruang lebar. Ilmu pengetahuan bergerak maju.
Tetapi kebebasan berpikir dan berekspresi
yang tidak dilandasi dengan fitrah akan melahirkan peradaban yang buruk. Di
sini, manusia yang kuat mendindas yang lemah. Akal dijadikan sebagai alat untuk
menghancurkan tatanan kegidupan nasyarakat. Sebaliknya, kebebasan berpikir dan
kemerdekaan berkreasi yang dilandasi dengan fitrah dan kepekaan hati nurani
akan melahirkan inovasi dan karya-karya besar yang mencerahkan. Dengan
kebebasan berpikir plus kepekaan hati nurani, setiap orang, kelompok, lembaga,
atau perusahaan akan mampu berkreasi dan berbuat sesuatu yang luar biasa dalam
kehidupannya.
Ya
Khaliq, Engkaulah Yang Maha Berkreasi
Ampunilah
kami yang sering berburuk sangka
Ampunilah
kami yang selalu iri
Ampunilah
kami yang hanya bisa mencaci dan mencela
namun
tidak mampu melahirkan karya
yang
bermanfaat bagi orang lain
Ya
'Alim, Engkaulah Yang Maha Mengetahui!
Ampunilah
kami yang tidak mau belajar dengan tanda-tanda kebesaran-Mu
Ampunilah
kami yang tidak mau membaca
siapa
diriku sesungguhnya
"Apakah mereka tidak mengembara di
bumi sehingga hati mereka dapat memikirkan sesuatu atau telinga mereka dapat
mendengar? Sungguh, bukan mata mereka yang buta, melainkan hatinya yang ada di
dalam rongga dada."(QS. Al-Hajj (22): 46).
Suara hati dan kebebasan berpikir adalah
anugerah Tuhan dan kekuatan manusia. Kedua sumber ini menegaskan bahwa berpikir
aktif dan sadar adalah ciri manusia sejati. Ketika seseorang tidak berpikir
dengan akalnya sendiri, maka ia kehilangan arah moral maupun intelektual,
terlalu ketergantungan kepada opini orang lain, atau bahkan menjadi manusia
objek yang tidak mandiri atau ikut-ikutan.
Gunakan hati dan akal untuk mencari
kebenaran, bukan hanya menerima apa yang tampak atau terdengar.
*)
Guru Bahasa Indonesia di SMAN 1 Pangalengan, Koordinator Gerakan Literasi
Sekolah, praktisi menulis, ibu rumah tangga pemerhati masalah remaja dan
pendidikan
Referensi:
Amri,
Masrukhul. 2024. "Hidup untuk Hidup". Bandung: Mizan Media Utama.
Nasution,
Ahmad Taufik. 2005. "Metode Menjernihkan Hati". Bandung: Al-Bayan, PT
Mizan Pustaka.
Beserta
sumber rujukan lain yang relevan.