SASTRA, AL-QUR’AN, DAN AMANAH MANUSIA MENJAGA KEHIDUPAN
Oleh:
Hj. Ani Haelani, SS., M.Pd *)
Dalam
kajian sastra, alam kerap hadir bukan sekadar latar, melainkan subjek yang
berbicara. Hutan yang gundul, sungai yang menghitam, udara yang sesak, semuanya
adalah metafora kesedihan bumi. Sastra modern menyebutnya ecocriticism, sebuah
pendekatan yang membaca alam sebagai teks yang sedang mengalami luka. Namun
jauh sebelum istilah itu dikenal, Al-Qur’an telah lebih dulu “membaca” bumi
sebagai ayat-ayat Allah, tanda-tanda kebesaran-Nya, yang kini terancam oleh
tangan manusia sendiri.
“Telah
tampak kerusakan di darat dan di laut disebabkan karena perbuatan tangan
manusia…”. (QS. Ar-Rum: 41). Ayat ini bukan hanya peringatan ekologis, tetapi
juga narasi ilahi tentang tragedi kemanusiaan.
Bumi dalam Sastra dan Al-Qur’an. Simbol Kehidupan dan Amanah.
Dalam
sastra klasik dan modern, bumi sering digambarkan sebagai ibu: memberi,
menumbuhkan, dan memelihara. Namun ibu yang sama bisa terluka ketika
dieksploitasi tanpa kasih.
-
Hamparan kehidupan (QS. Al-Baqarah: 22)
-
Tempat tinggal sementara (QS. Al-A’raf: 24)
-
Titipan amanah (QS. Al-Ahzab: 72)
Manusia
bukan pemilik mutlak bumi, melainkan khalifah, pengelola yang kelak dimintai
pertanggungjawaban.
Dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat: ‘Sesungguhnya Aku hendak menjadikan khalifah di bumi." (QS. Al-Baqarah: 30).
Dalam
perspektif sastra, khalifah adalah tokoh utama dalam drama kosmik. bisa menjadi
pahlawan penjaga kehidupan, atau antagonis perusak semesta. Kerusakan sebagai
Konflik Naratif: Ketika Manusia Melawan Alam. Setiap karya sastra besar
memiliki konflik. Dalam kisah kemanusiaan hari ini, konflik itu nyata:
Penebangan
hutan, pencemaran laut, eksploitasi tambang, dan pemborosan sumber daya adalah
bentuk keserakahan naratif, plot gelap yang berulang. Al-Qur’an menegaskan
larangan merusak tatanan ini:
“Dan
janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi setelah (Allah) memperbaikinya.”
(QS. Al-A’raf: 56).
Ayat
ini seakan menjadi kalimat klimaks dalam cerita: peringatan bahwa setiap
tindakan manusia akan kembali sebagai konsekuensi. Bencana alam dalam
perspektif ini bukan sekadar peristiwa fisik, melainkan respons naratif alam
terhadap ketidakadilan manusia.
Sastra
profetik adalah sastra yang membawa pesan kenabian: mengingatkan, menegur, dan
membebaskan. Al-Qur’an hadir sebagai teks profetik yang menegur manusia agar
kembali pada keseimbangan (mīzān).
“Dan langit telah Dia tinggikan dan Dia
letakkan neraca (keadilan), supaya kamu jangan melampaui batas dalam neraca
itu.” (QS. Ar-Rahman: 7–8).
Melampaui
batas ekologis berarti merusak neraca kehidupan. Dalam bahasa sastra, ini
adalah tragedi akibat keangkuhan tokoh utama, manusia yang lupa perannya.
Sastra
selalu memberi harapan: akhir cerita bisa ditulis ulang. Begitu pula dalam
Al-Qur’an, pintu taubat selalu terbuka—termasuk taubat ekologis.
“Sesungguhnya
Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS. Al-Ma’idah: 64).
Menjaga
bumi adalah bentuk ibadah, dzikir dalam tindakan, dan sastra dalam perbuatan.
Menanam pohon, mengurangi sampah, menjaga air, dan hidup sederhana adalah
bait-bait puisi nyata yang ditulis manusia untuk masa depan.
Bumi
sebagai Ayat yang Harus Dijaga
Jika
Al-Qur’an adalah kitab suci yang tertulis, maka bumi adalah kitab Allah yang
terbentang. Merusaknya berarti mengabaikan ayat-ayat-Nya yang hidup. Sastra
mengajarkan kita untuk peka terhadap suara yang lirih. Al-Qur’an mengajarkan
kita untuk taat pada amanah. Ketika keduanya bertemu, lahirlah kesadaran bahwa:
menjaga
bumi bukan sekadar pilihan moral, tetapi perintah Ilahi.
“Maka
perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS.
Al-A’raf: 86).
*)
guru bahasa Indonesia di SMAN I Pangalengan. Koordinator Gerakan Literasi
Sekolah.
Daftar Pustaka:
-
Al-Qur’an al-Karim. 2025. Terjemahan
Kementerian Agama Republik Indonesia. Jakarta: Kemenag RI.
-
Keraf, A. Sonny. 2010. "Etika Lingkungan Hidup". Jakarta:
Penerbit Buku Kompas. Sebuah referensi penting untuk memahami relasi manusia,
moral, dan kerusakan lingkungan.
-
Glotfelty, Cheryll., & Fromm, Harold.
1996. "The Ecocriticism Reader:
Landmarks in Literary Ecology". Athens: University of Georgia Press.
Sebuah rujukan utama teori ekokritik dalam kajian sastra.
-
Qardhawi, Yusuf. 2001. "Islam Agama Ramah
Lingkungan". Jakarta: Pustaka Al-Kautsar. Sebuah perspektif fiqih dan
etika Islam dalam menjaga alam.










.jpeg)













